"Ada dunia dalam kepalaku."
"Dunia? Dalam kepala?"
"Kamu tidak percaya ada dunia dalam kepalaku?"
"Mengapa aku harus percaya ada dunia dalam kepalamu?"
"Ada cinta di sana. Aku dan kamu."
Perempuan menengadah. Kata-kata makin sulit dipercaya. Pengertian hilang makna. Merayu sederhana saja. Mana ada dunia dalam kepala.
"Merayulah sewajarnya saja."
"Rayuan didendangkan saat cinta tak mau berkorban."
"Aku tidak memintamu berkorban. Aku mau cintamu. Hanya itu."
"Dunia dalam kepalaku mengatakan itu."
"Tapi aku tidak tahu rupa dunia dalam kepalamu itu."
Cinta sederhana menjadi rumit dan berbelit-belit. Perempuan selalu bersedia menampung rasa sakit. Lelaki selalu tidak peduli. Hanya dunia dalam kepala tombak tua di waktu senja.
"Ikutlah denganku. Masuk ke dalam dunia dalam kepala. Akan kamu temui pelangi dan hujan badai. Taman berseri dan kuburan mati."
"Tidak, disini saja. Beranak pinak di rumah tua sampai menua kelak."
Dunia dalam kepala bersitegang dengan dunia di luar kepala. Bertarung memperebutkan cinta. Siapa pemenangnya?
Kelutan 12 07 16
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H