Wajahku mengelupas, melayang seringan kapas, menjelma asap, ambyar disenggol angin.
Aku mengukir wajahku di atas kertas, sepi jendela termangu di garis batas. Gerah mengabarkan matahari garang menikam orang-orang di jalan.
Huruf tak rela menjalin kata. Kata tak sudi merangkai kalimat. Kalimat semburat menerima kabar. Katanya besok kiamat.
Kertas kosong mengejekku. Oh begini rasanya disiksa deru ombak sedangkan dada rasa hampa.
Aku mengutuk sumpah serapah. Huruf diam tanpa bahasa. Asap melayang depan mataku. Aku bentak, "Mana nyawamu!" Pada batu sepi huruf ganti menghardikku. "Apa maumu!"
Kata ditinggal makna seperti laron berhamburan. Lampu neon dicumbu dalam remang. Laron mati. Terbakar panas dirinya sendiri. Entah kapan hidup lagi.
Siapa mencari kemerdekaan di luar dirinya, ia sedang menggali tanah kuburan masa depannya. Siapa mencari kemenangan di dalam dirinya, ia sedang membangun istana raja. Ia menjadi pemimpinnya.
Aku terkesima. Wajahku mengelupas. Siapa bilang sepi itu surga. Padahal ia siksa mendera.
jagalan 09 07 16