Setelah itu silahkan dicermati bagaimana program itu dieksekusi. Bagaimana rasioanalitas ketercapaian programnya? Bagaimana tata kelola program itu dilaksanakan di antara program belajar lainnya? Bagaimana persiapan dan kesiapan sekolah mewujudkan janji-janjinya? Dan beberapa sikap kritis lainnya. Saya pernah menjumpai sekolah yang menawarkan program menghafal Al-Quran namun struktur pembelajarannya justru menanam kegagalan bagi program hafalan itu sendiri.
***
Kesalahan paling fatal dan tindakan terburuk seorang guru adalah ketika ia memberikan sesuatu atau menyodorkan informasi yang sebenarnya hak asasi murid untuk menelusuri dan memperolehnya secara mandiri, demikian guru saya mengingatkan. Dan inilah awal kebisuan sekolah dimulai. Ketika siswa dipangkas kesanggupan berpikirnya karena segala sesuatunya sudah disiapkan dalam paket-paket. Ketika prestasi menjadi alat untuk mengangkat prestise sekolah. Ketika kompetisi menjadi pisau untuk saling membunuh dan mengalahkan. Ketika citra sekolah menjadi parameter keunggulan. Ketika sekolah hanya menyodorkan materi ajaran (teori, pendapat, wejangan, kesimpulan).
Sesekali bertanyalah kepada siswa kelas empat atau kelas lima sekolah dasar. Misalnya, “Mengapa kota kita sering terjadi banjir?” Atau pilih pertanyaan paling sehari-hari. Lalu dengarlah apa yang keluar dari bibirnya. Saya kerap prihatin bagaimana anak-anak sekolah dasar gagap, terbata-bata, putus-putus, sepenggal-sepenggal bahkan tidak jarang macet sebelum menyampaikan gagasannya.
Anak-anak itu ingin sekali menyampaikan gagasan dan pendapat yang bergumpal-gumpal di dalam kepalanya. Namun, entahlah, seperti ada tembok menjulang yang menghadang aliran pikiran mereka. Semakin jelas menunjukkan bahwa mereka tidak terlatih menyusun pikiran dan mengkomunikasikannya. Mereka terlalu sering diposisikan sebagai makhluk telanjang dan bisu yang hanya memiliki satu piilihan: diberi pengetahuan. Sekolah sukses mencetak mereka menjadi manusia peniru.
Terakhir, patut kita renungi bersama pesan Romo Mangun Wijaya. “Walaupun kepandaian, kecerdasan, kepintaran adalah dimensi yang penting, namun dalam negara yang berada dalam iklim “Panca Celaka”, korupsi, gontok-gontokan dan semua masih serba hukum rimba, pendidikan harus dinamakan gagal, apabila kita tidak mampu mendidik para peserta pendidikan kita menjadi manusia yang budiman.”
Hemm…manusia budiman, kok saya yakin, tidak akan lahir dari sekolah bisu. Jadi? Ya jangan menjadikan sekolah bagian dari budaya bisu. []
Achmad Saifullah Syahid
Ilustrasi: Bisu
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI