Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

I don’t Need School, I have Google

15 Mei 2016   23:51 Diperbarui: 16 Mei 2016   12:03 1215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Sekolah Membuatku Stres - tukangteori.com

Teman saya satu ini tergolong “gila”. Apa pasal? Ia memiliki empat orang anak. Tiga di antaranya sedang menempuh pendidikan di sekolah formal. Anak pertama duduk di bangku kelas X SMA yang dikomandani oleh konsultan terkenal terkenal di negeri ini. Teman saya juga menjadi salah satu guru di SMA itu.  

Untuk pendidikan anak-anaknya, teman saya menempuh jalan tengah yang 'ekstrem”'. Jalan tengah: ia berkompromi dengan model pendidikan, yang menurut pandangannya ruwet seperti benang mbulet. Namun ia tetap menyekolahkan anak-anaknya ke lembaga formal. Ekstrem: ia selalu menantang anak-anaknya menjadi pembelajar yang mandiri. Dan tampaknya tantangan itu oleh anaknya disambut dengan tangan terbuka.

Mengikuti jejak sang emak, anak-anak itu kini menjadi pembelajar mandiri yang tangguh. Start dan pondasi awal yang bagus. Anak kedua bahkan memutuskan sikap yang revolusioner: “I don’t need school. I have Google!”

Itulah sikap pembelajar era generasi digital. Anak-anak yang berani mengambil keputusan bahwa terdapat lipatan-lipatan pengetahuan, lapisan-lapisan ilmu, lorong-lorong misteri, cipratan-cipratan cahaya yang tidak mungkin disajikan oleh proses belajar di bangku sekolah.

Anak-anak itu tidak mau diam, termenung, sambil melipat tangan di atas meja. Pikiran, emosi, imajinasi mereka menerobos dinding kelas, mengembara, melayang, hinggap di ranting-ranting informasi. Bagi mereka, sekolah tidak lebih dari acara makan siang. Masih ada sarapan pagi, makan malam, juga kenduri informasi bersama komunitasnya masing-masing.

Mengapa saya tertarik untuk menceritakan anak teman saya yang menjadi pembelajar mandiri? Karena yang dibutuhkan anak-anak adalah pendidikan. Dan inti pendidikan adalah belajar. Sekolah adalah wadah, hiasan, bahkan kadangkala menjadi asesoris. Substansi isinya adalah belajar. Sedangkan substansi belajar tidak boleh dikesankan hanya ada di sekolah. Sekolah bukan satu-satunya tempat belajar.

Dan lihatlah, bagaimana anak zaman sekarang memiliki lompatan berpikir yang tak terbayangkan oleh orang tua. Ia tidak 'membutuhkan' sekolah. Ia punya Google. Bagi kalangan yang mabuk oleh pola pikir mainstream pendidikan, pernyataan itu mencerminkan pola pikir anak yang “'durhaka'. Ia berterus terang alias bloko suto menyampaikan sikap pikirannya yang bertentangan, bahkan terkesan mengejek keangkuhan model persekolahan.

Apa lantas sang anak harus keluar dari sekolah? Tidak ada rekomendasi sedikit pun agar anak teman saya keluar dari sekolah. Biarlah ia bersekolah setidaknya untuk dua tujuan. Pertama, untuk memperoleh ijazah formal. Kedua, dengan ijazah itu ia bisa menggunakannya untuk melanjutkan ke jenjang sekolah berikutnya. Selain dua hal itu, apa yang bisa diberikan oleh sekolah?

Karena itu, sekolah jangan hanya dihuni oleh anak yang manis dan penurut. Sekolah jangan hanya menerima tipe orang tua yang manja. Lalu sekolah mendidik anak-anak itu dengan sikap melayani secara total. Menyuapkan pengetahuan ke otak mereka. Menjejalkan teori dan rumus-rumus jadi. Menyusui dan menimang-nimangnya di lingkungan yang steril dan terpisah dari dinamika lingkungan.

Justru sekolah memerlukan model siswa seperti anak teman saya itu. Anak-anak “liar” macam anak teman saya itu dibutuhkan oleh sekolah. Mengapa? Supaya terjadi situasi saling belajar. Agar tercipta dialektika pedagogis. Siswa belajar dari guru; guru belajar dari siswa. Ini baru sekolah hebat. Sekolah yang para gurunya memahami, merangkul, mengayomi, melejitkan fitrah DNA setiap siswa. 

Anak 'durhaka' ini seolah menitipkan pesan untuk warga sekolah bahwa proses pembelajaran di ruang kelas jangan hanya mendidik siswa berkarakter seperti gelas kosong yang kesanggupannya hanya diisi air pengetahuan oleh guru. Sekolah bukan produsen air kemasan ilmu pengetahuan. Sedangkan para siswa adalah gelas plastik yang diisi air, dikemas, lalu dipasarkan ke pedagang industri kapitalisme.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun