“Mbok jangan berlagak jadi orang kaya!”
“Justru karena aku tidak punya banyak uang dan tidak bisa membangun sekolah dengan gedung yang bertingkat. Justru karena aku sangat menghormati dan menjunjung tinggi mereka yang menjadi guru. Justru karena aku orang kecil dan pendidikan menjadi urusan orang-orang besar. Justru karena itu semua aku nekad bersedekah untuk pendidikan.”
Kalimatku tidak terbendung.
“Aku tidak tega melihat sahabat-sahabatku, para guru yang terhormat dan yang selalu dijaga Tuhan siang malam, difungsikan sebagai baut dan paku untuk bangunan pendidikan yang prakteknya akan berakhir dengan menindas harga diri kemanusiaan mereka.
“Tidak kuat perasaanku menampung jeritan hati nurani yang digelapkan oleh semakin tidak terkendalinya logika berpikir dan nalar yang sehat. Guru-guru itu, para sahabatku itu, terlalu suci hatinya sehingga mereka merasa tidak tega kepada pihak yang menggerus integritas kepribadiannya. Pilihan mereka hanya satu: terus menerus melapangkan hati setiap saat, demi menampung sampah-sampah logika dan kebijakan yang kontra produktif bagi misi pendidikan itu sendiri.”
“Mengapa mereka tidak melawan?” tanya sahabat saya
“Melawan siapa?”
“Melawan pihak-pihak yang kamu sebutkan tadi.”
“Tidak ada pihak yang perlu dilawan. Tidak ada orang yang harus dijatuhkan. Yang aku ceritakan tadi tidak harus melalui perlawanan terbuka untuk menyelesaikannya. Mereka berhadapan bukan dengan penyakit lokal. Mereka dikepung oleh gelap peradaban.”
“Kamu suka menyeram-nyeramkan persoalan,” tukas sahabat saya.
***