Ilustrasi: Jaringan Pendidikan (sumber: jaringanpelajaraceh.com/wp-content/uploads/2014/08/butet.jpg)
“Secara konstitusional, mendidik adalah tanggung jawab negara namun secara moral mendidik adalah tanggung jawab setiap orang terdidik.” – Anies R. Baswedan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Seprihatin-prihatinnya hati saya menatap realitas pendidikan nasonal, terdapat secercah sikap optimis. Seamburadul-amburadulnya konsepsi pendidikan, saya tetap berkeyakinan bahwa Indonesia sedang merintis kebangkitannya sendiri: kebangkitan yang dimulai dari pendidikan. Betapapun tidak jujurnya pelaksanaan Ujian Nasional diselenggarakan, saya tetap memelihara sikap husnudhon bahwa pembusukan-pembusukan ini merupakan momentum waktu menjelang fajar pagi tiba.
Mengapa terjadi pembusukan-pembusukan? Karena kita selalu mengulang-ulang kebijakan yang sama meskipun wadah dan nuansa regulasinya berbeda. Dari tahapan pembusukan ini sikap optimis terhadap masa depan pendidikan nasional saya sandarkan.
Pendidikan kita belum beranjak dari proses belajar yang distandarkan. Ekspektasi hasil belajar yang harus dicapai siswa selalu dijadikan alat ukur kualitas pendidikan. Bukan hanya itu. Kinerja guru pun distandarisasi.
Guru yang menderita adalah mereka yang melakukan inovasi dan menawarkan ide-ide segar pembelajaran. Kok menderita? Mekanisme pengawasan dan pengukuran kinerja berbasis kekuasaan struktural – seperti yang dilakukan para pengawas sekolah – kerap menghasilkan perbedaan cara pandang konseptual. Debat dan dialog tiba-tiba buntu. Nuansa komunikasi berbalut psikologi kekuasaan yang menghakimi dan menjustifikasi menutup pintu debat dan dialog.
Guru yang pada awalnya terbakar semangat inovasinya layu begitu saja. Komando dan kontrol yang ketat menggantikan kebersamaan dan mengubur gelora kreativitas. Daripada bentrok dengan pengawas pendidikan, mengapa repot merancang pembelajaran yang inovatif? Standarisasi yang kaku dan berlebihan menjadi musuh utama kreativitas.
Apakah dengan standarisasi yang kaku dan berlebihan dari pengawas sekolah akan benar-benar mematikan kreativitas guru? Tidak. Guru-guru yang kreatif-inovatif sedang hadir dan akan terus lahir dari rahim standarisasi adiminstratif yang sempit dan kaku. Sebagian yang lain akan tumbang. Tapi tidak dengan guru terpilih. Mereka enggan berkompromi dengan kakunya standarisasi.
Apakah gaji berbasis prestasi dan akuntabilitas kerja profesional akan menjerumuskan guru ke dalam sikap transaksional yang puas dihargai dengan uang? Tidak. Pergilah ke pelosok-pelosok dusun sunyi, di tepi pantai, di lereng perbukitan, di pojokan ruang semesta negeri Nusantara, yang tak pernah kita bayangkan bagaimana menjangkau lokasinya – putra-putri pendidikan Ki Hadjar Dewantara madeb-manteb mendidik anak-anak bangsa. Mendidik bukan sekedar passion. Mendidik adalah panggilan jiwa.
Sebuah pandangan yang menyesatkan apabila untuk menjadi insan terdidik seseorang hanya memerlukan sekolah. Pendidikan jangan selalu diidentikkan dengan sekolah. Pendidikan bukan monopoli sekolah. Sekolah jangan memasang pagar tinggi – di luar pagar itu bukan pendidikan.
Ada “gerak” pendidikan di dalam sekolah memang sudah semestinya. Meskipun di dalam sekolah terdapat kemungkinan “gerak” yang bukan pendidikan. Antara substansi dan wadah musti jelas “maqam” dan posisinya. Sekolah adalah ilustrasi praktek pendidikan. Sedangkan substansi pendidikan jangan direbut dan dimonopoli institusi sekolah.