Nalar bukanlah satu cara mempertalikan manusia di bumi.
- Einstein
Einstein nyaris putus asa. Teori relativitas dianggap ilmu “Yahudi” dan “Komunis.” Hantaman-hantaman bertumpu pada nalar semata. “Tampaknya orang selalu butuh setan untuk saling membenci; dulu itu kepercayaan agama, kini negara,” tulisnya.
Menurut Einstein, dunia yang dibentuk nalar bukan segalanya. Zaman yang dipuncaki kebencian akan mengasah nalar menjadi ujung lancip sebuah tombak. Ditikamkan kepada yang “bukan-kami.” Manusia menebar teror, menggunakan relativitas kebenaran nalarnya masing-masing. Pihak yang “bukan-kami” menjadi makanan empuk nafsu teror. Nalar yang dirasuki kebencian mencabut nyawa martabat kemanusiaan. Virus mematikan "bukan-kami" itu beranama narsisme.
Dalam konteks pendidikan, keluarga dan sekolah (dua institusi penebar bibit masa depan) rajin membentuk generasi penghabisan yang rentan dirasuki virus narsisme. Generasi akhir sejarah. Generasi tanpa cakrawala. Langkahnya pendek-pendek. Linier. Pendidikan dibatasi sekedar untuk melanjutkan ke jenjang sekolah berikutnya. Mengejar angka-angka tinggi di rapot. Kompleksitas lipatan-lipatan jiwa dan potensi manusia direduksi, distandarisasi, dipetak-petak ke dalam ruang sempit ujian. Ruangan tanpa jendela.
Sekolah yang diidentikkan dengan pendidikan menjadi kaki tangan kepentingan nalar yang bebas nilai. Nalar yang didayagunakan tidak untuk menjunjung harkat kemanusiaan. Nalar yang dikebiri hanya untuk mempelajari logika selangkah dua langkah kepentingan sesaat. Nalar yang digunakan untuk nuthul keinginan di depan mata. Nalar yang menyempitkan kesadaran betapa luas semesta jagad raya.
Manusia tidak mampu menjawab semua hal. Einstein mengingatkan, “Alam dan eksperimen bukanlah hakim yang bisa diduga dan bukan sahabat yang penurut. Lebih sering alam dan eksperimen mengatakan "Tidak" kepada satu teori, atau paling ramah "Barangkali". Malah sangat mungkin tiap teori kelak akan bertemu dengan "Tidak".”
Itulah cakrawala. Pendidikan serupa ruangan dengan banyak pintu – silahkan memasuki salah satu pintunya – untuk bertemu di ruang lepas, cakrawala tanpa batas, hamparan alam semesta – bertemu sebagai sesama manusia. Di tengah kemegahan semesta, nalar manusia “sekedar” lipatan kecil dari kelembutan lipatan-lipatan potensi yang dianugerahkan Tuhan.
Nalar bukan panglima. Ia harus patuh pada kerendah-hatian. Jangan sampai nalar lepas kendali, seperti kuda tanpa kekang. Para guru atau siapapun yang memiliki kompetensi dan memegang regulasi pendidikan seyogyanya bersikap rendah hati. Berhadapan dengan dengan anak, siswa, pelajar – nalar merunduk dengan hati benderang. Bersikap religius terasa indah menenteramkan karena dilandasi sikap rendah hati.
Religius, menurut Einstein, adalah rasa takjub menyaksikan "skema yang menyatakan diri di alam semesta materi." Lalu, adakah skema masterpiece ciptaan Tuhan yang menandingi manusia? Makhluk mikro-makro kosmos? Sumber segala misteri yang belum tertakklukkan hingga kini? Mengapa pendidikan belum juga berendah hati?