Mohon tunggu...
Achmad Zidan Muzakki
Achmad Zidan Muzakki Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Pendidikan Matematika UIN Sunan Ampel Surabaya

Seorang mahasiswa yang berminat di bidang sastra dan matematika.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Luka dan Duka

20 November 2024   09:04 Diperbarui: 20 November 2024   09:16 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

 "Aaarrgghhhh." Petir menggelegar. Kilat menyambar. Angin berembus dengan kencang. Jutaan bulir air turun membasahi bumi. Udara dingin terasa menusuk tulang. Namun, kamu tetap bergeming di tempatmu. Meski badanmu basah kuyup, kamu tidak terpengaruh sedikitpun.

 Napasmu menderu. Tampak jelas amarah dan kebencian di wajahmu. Lantas, entah mengapa, kamu tiba-tiba tertawa. Tawa getir. Tawa keputusasaan. "Akhirnya, malam ini datang juga." Kamu tetap tertawa. Tawa yang menyayat hati siapapun yang mendengarnya.

 "Setelah sekian purnama aku dipukuli, dianggap sebagai biang keladi kematian Bunda, menjadi kambing hitam yang tak pernah dianggap. Setelah sekian purnama, akhirnya aku bebas."

 Guntur menggelegar memekakkan telinga. Kilat menyambar menyilaukan mata. Hujan semakin deras. Angin menderu. Alam bagaikan meluapkan segala amarahnya. Seperti dirimu yang tetap tertawa. 

 "Benarkan, aku tidak dianggap? Benarkan bahwa aku tidak pernah diharapkan? Aku hanya sebagai mesin uang untuk mereka. Aku hanya penggerak perekonomian mereka, pemantik kebahagiaan mereka. Lalu, ketika mereka marah, mereka melampiaskannya padaku. Mereka memukulku, mencambukku, mengurungku di kandang sapi, bergumul dengan lumpur dan kotoran sapi. Benarkan, bahwa aku adalah anak sialan. BENAR, kan?"

 Air mata mulai menetes dari matamu. Napasmu semakin menderu. Kamu meraung, dengan tetap tertawa getir. Luka sayatan di pipimu membiru, jemarimu mengerut, bibirmu juga mulai membiru. Kamu tampak kedinginan, menggigil. Namun, kami tidak berpindah tempat. Kamu tetap diam di tempatmuberdiri.

 "Aaarrgghhhh. Hahaha." Kamu membungkuk, mengatur napasmu. "Namun, semua akan berakhir. Hidupku akan damai setelah ini." Kamu menegakkan badanmu, menatap lurus ke depan. Pemandangan kota terhampar di hadapanmu. Sesaat kemudian, kakimu melangkah ke depan. Semakin maju, semakin maju. 

 Kamu menghela napas, menatap teduh city light yang indah. Kamu menaiki pagar balkon kamarmu, melihat ke bawah. Lantas, dengan sekali tarikan napas, kamu terjun bebas ke tanah. Gelegar guntur dan sambaran kilat mengiringi jatuhmu. Wajahmu tampak tenang, tampak teduh. Sepertinya, kamu merasa bebas, kamu merasa damai. Meski siapapun tahu, itu adalah perasaan damai pertamamu sekaligus yang terakhir.

 BRAKK. CRATT.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun