Mohon tunggu...
Achmad Muchtar
Achmad Muchtar Mohon Tunggu... Administrasi - Content writer

Lahir di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Penyuka buku, sastra, film, dan sepi. Tinggal di Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Merebut Berkah

14 Juli 2014   07:13 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:24 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Cerpen Achmad Muchtar (Koran Merapi, Minggu, 19 Januari 2014)

KATA nenek, jika kita menonton Garebek Maulud[1] di Kraton Yogyakarta dan berhasil merebut bagian gunungan-gunungan[2] itu, maka kita akan mendapatkan berkah dan dihindarkan dari kesialan. Menurut nenek pula, jika kita telah berhasil membawa pulang bagian dari gunungan itu ke rumah, maka musnahlah sudah segala kesialan yang mendera. Inilah perkataan nenek yang masih terpatri dalam ingatan saya sampai saat ini.

Sudah beberapa kali saya sekeluarga tidak pernah menonton Garebek Maulud lagi. Semenjak kesialan yang kami dapatkan justru setelah kami mendapatkan bagian gunungan itu. Dompet Ibu saya raib dari tasnya, meninggalkan bekas berupa sayatan yang membuat tas itu bolong. Sial memang nasib Ibu saat itu, banyak orang berjubel dan berdesakan ingin merebut bagian pada gunungan itu, namun apa yang dikatakan nenek tidak benar, karena bukanlah berkah yang sekeluarga kami terima melainkan kesialan berupa kecopetan tadi.

Akan tetapi, sesungguhnya kecopetan tadi adalah kesalahan saya dan kakak saya, soalnya dulu kami ingin dibelikan arum manis dan gulali yang warnanya cerah hingga Ibu membayar dan memperlihatkan isi dompetnya. Mungkin si pencopet melirik isi dompet Ibu dan memperhatikan di mana Ibu menaruh dompetnya. Nah, mungkin Si Pencopet juga mengikuti kami hingga acara rebutan gunungan selesai. Kami sekeluarga merasa telah dibohongi nenek. Karena bukan berkah yang kami dapat setelah mendapatkan gunungan itu melainkan petaka, kami pun langsung membuang bagian gunungan itu. Semenjak kejadian itu, kami sekeluarga sudah tidak pernah lagi menonton Garebek Maulud.

Namun apa yang kami dapatkan setelah pulang di rumah justru petaka juga. Kami sekeluarga dimarahi nenek. Nenek marah lantaran kami mengaku telah membuang bagian-bagian gunungan itu ke jalanan. Nenek menyumpahi kami, dan kalau sampai kami tidak mengambilnya lagi maka katanya kami akan mendapatkan petaka. Karena ketakutan, kami pun balik melewati jalan yang kami lewati tadi, menuju jalan tempat saya menjatuhkan gunungan. Kami menuruti jalan, kami sudah berusaha melihat jengkal demi jengkal aspal jalan, tapi tidak ada. Kami telah kehilangan bagian gunungan tadi. Mungkin telah diambil orang lain atau mungkin telah terbawa oleh Petugas Kebersihan Kota Jogja.

Kami pulang dengan tangan kosong. Maka nenek semakin marah dan mengeluarkan berbagai kata serapah kepada kami. Nenek menyumpahi kami. Dia bilang bahwa sebentar lagi kami akan mendapat petaka. Maka nenek berpesan kepada kami agar hati-hati.

***

Satu tahun kemudian, kami mendapati bahwa keadaan kami baik-baik saja. Tak ada malapetaka. Lambat laun kami merasa bahwa perkataan nenek lebih baik tidak usah dipikirkan. Mungkin karena dia sudah tua, jiwa kedewasaannya sudah berkurang. Tapi saya masih memikirkan apa yang dikatakan nenek. Saya menyadari bahwa akhir-akhir ini hubungan Ayah dan Ibu kurang harmonis. Mereka berdua sering cekcok. Saya juga menyadari hubungan saya dengan kakak mulai renggang. Mungkin perkataan nenek benar adanya. Saya berpikiran garebek tahun ini saya harus merebut bagian-bagian dari gunungan itu.

***

Hari ini, Upacara Garebek Maulud akan dilaksanakan. Saya ingin menonton puncak acaranya. Saya ingin merebut bagian gunungan itu dan menyerahkan ke nenek saya kemudian menuruti apa perintah nenek selanjutnya. Sudah lama rasanya nenek mendiamkan kami karena kejadian beberapa tahun silam.

Saya mengayuhkan pedal sepeda saya agak lambat menikmati pesona kota pagi hari. Jam segini jalanan ramai karena jamnya orang berangkat kerja. Saya menambah kencang laju sepeda saya, dengan menggebu-gebu ingin menjadi yang terdepan di antara orang-orang yang mulai berjubel di sekitar Kraton Yogyakarta. Tampak orang-orang mulai berdesakan ingin segera sampai di Kraton Yogyakarta. Alun-Alun Utara Kota Yogyakarta menampakkan bertumpah ruahnya para pedagang. Tempat itu baru-baru ini mengadakan agenda sebulan penuh berupa Pasar Malam Perayaan Sekaten menyambut Garebek Maulud hari ini.

Banyak sekali orang berjubel di sekitar Kraton Yogyakarta. Mereka datang ke sini sudah dari tadi pagi bahkan ada yang sudah dari kemarin dan mereka tidak hanya dari Yogyakarta saja melainkan dari luar. Mereka tampak antusias menyaksikan upacara yang sakral ini. Mereka percaya bahwa bagian gunungan itu akan memberikan berkah tertentu bagi mereka.

Kepercayaan mereka disebabkan oleh karena gunungan tersebut dibuat dengan disertai doa-doa. Bahkan doa resminya dilakukan oleh ulama yang ditunjuk kraton. Oleh karena hal-hal semacam itu, maka banyak orang percaya akan keberkahan dari gunungan tersebut. Tidak mengherankan juga jika dalam acara perebutan gunungan itu warga masyarakat rela menunggu hingga dalam waktu lama untuk dapat ikut memperebutkan gunungan. Mereka rela berdesak-desakan dan berpeluh ria untuk dapat memperebutkan gunungan. Risiko terinjak-injak, jatuh, bahkan kecopetan pun seolah tidak mereka pedulikan asal bisa memperoleh bagian dari gunungan itu.

Saya pun mulai menerobos ratusan orang yang memadati halaman luar pagar Kraton Yogyakarta, saya memaksa untuk lebih dekat. Melihat lebih dekat gunungan-gunungan yang akan dipersembahkan. Saya menaksir salah satu gunungan yang paling menarik warnanya.

Garebek Maulud sudah dimulai, saya sudah mengincar salah satu gunungan yang akan di bawa ke Masjid Agung Kauman. Para prajurit kraton dengan jubah yang membuat mereka terkesan gagah pun mengarak gunungan-gunungan itu. Dibawanya ke Alun-Alun Utara Kraton Yogyakarta. Setelah itu gunungan-gunungan itu akan dibagi menjadi tiga menuju halaman Kantor Gubernur DIY atau kepatihan, halaman Pura Paku Alaman, dan halaman Masjid Agung Kauman. Maka saya mengikuti gunungan yang saya incar tadi. Masyarakat berjubel saling mendahului. Saya pun merasa tersisih, maka saya putar otak. Saya mengambil jalan pintas saja, langsung menuju Masjid Agung Kauman.

Sesampainya di Masjid Agung Kauman ternyata sudah banyak orang-orang yang menanti di sana. Semakin kecil kemungkinan saya bisa mempersembahkan bagian gunungan itu kepada nenek. Tapi saya terus berupaya untuk bisa menghadang arakan gunungan itu di jalan yang akan dilintasinya dan tempat di mana gunungan itu akan dibagikan. Saya mencoba terus menerobos ratusan orang. Tak terasa arakan gunungan sudah terlihat. Sudah hampir sampai, tapi banyak orang yang saling dorong menyebabkan banyak anak kecil menangis. Mereka egois ingin mendapatkan sebanyak mungkin bagian gunungan tersebut.

Setelah diserahterimakan, maka gunungan itu akan dibagikan kepada masyarakat. Saya sudah berada di tengah kerumunan orang, tapi berada jauh dari gunungan itu. Saya pun berusaha menerobos. Susah payah saya mendahului banyak orang yang juga ingin menerobos mendekati gunungan itu. Tak terasa sedikit lagi saya akan bisa menyentuh gunungan itu. Sebenarnya bagian gunungan akan disebar, tapi saya ingin mengambil sendiri bagian gunungan yangsaya incar tadi.

Akhirnya saya mendapatkan bagian gunungan yang saya incar tadi. Saya pun berusaha menerobos keluar dari kerumunan orang itu. Sangat susah sekali, seperti melawan arus. Orang-orang saling dorong ke arah saya, tak sedikit orang ingin merebut apa yang saya genggam. Saya pun berusaha menyelamatkan bagian gunungan yang saya bawa. Saya berusaha mendekapnya, tapi tetap saja banyak orang yang menghimpit saya hingga bagian gunungan itu menjadi gepeng lalu hancur dan jatuh ke tanah. Saya berusaha mengambilnya tapi saya tak kuasa untuk untuk mengambilnya. Saya bisa terinjak-injak jika menundukkan badan saya. Tak mau ambil risiko saya pun tak menghiraukan gunungan yang terjatuh tadi.

Saya sudah berhasil keluar dari kerumunan orang-orang. Tapi saya sama sekali tidak membawa bagian gunungan seperti apa yang saya inginkan sejak pagi tadi. Saya ingin kembali ke kerumunan orang tadi tapi saya merasa lelah dan mungkin hasilnya akan sia-sia. Saya menyerah saja.

Ada anak kecil membawa serpihan gunungan, dia sendiri, saya bisa merebutnya tanpa masalah. Mungkin anak ini tidak terlalu butuh dengan bagian gunungan ini. Mungkin bagian gunungan ini hanya akan dipergunakan sebagai mainan saja. Daripada dipergunakan sebagai mainan lebih baik saya rebut untuk saya persembahkan kepada nenek saya.

Saya pun menoleh ke sekeliling saya, orang-orang masih ribut. Saya pun melirik anak kecil itu. Saya dekati lalu saya rebut bagian gunungan yang dia bawa tadi dari belakang dan saya langsung lari sekencang-kencangnya. Anak itu menangis sekeras-kerasnya. Saya tak peduli. Saya terus berlari.

Saya melajukan sepeda saya sekencang-kencangnya menuju ke rumah nenek. Alangkah senangnya bisa membawa bagian gunungan untuk nenek tercinta. Setibanya di rumah nenek, saya mendapati rumah nenek banyak tamu, tiba-tiba tampak ayah saya keluar dari rumah nenek. Saya pun segera menghampirinya.

“Ayah! Saya membawa bagian gunungan untuk nenek!”

“Gunungan? Terlambat, Nak. Nenek kamu baru saja meninggal.”

Sleman, 12 Desember 2012

[1]Garebek Maulud adalah perayaan besar yang bertalian dengan hari raya Islam pada tanggal 12 Rabiulawal.

[2] Gunungan merupakan rangkaian makanan yang disusun sedemikian rupa sehingga membentuk semacam gunung yang diarak pada acara Garebek Maulud di sekitar Keraton Yogyakarta.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun