biarlah detik-detik itu bertubuh hantu. kau tahu, tahun-tahun kemarin aku diopname di
rumah sakit dan diinfus sampai cuci darah berulang-ulang. aku sering melihat ke luar
jendela ketika aku terbaring: langit dipenuhi cahaya, kumpulan merpati, bahkan awan yang memeluk angin. ah, angin itu menerobos masuk pada celah jendela kamarku. ia
menghampiriku dengan sebilah senyuman dari masa lalu.
aku begitu mengenalmu: dari sebuah nama yang terjatuh dari pepohon langit. aku meneguk
airnya dari gelas yang sama, menanam kata-kata dari benih yang sama
kemarin masih seperti kemarin. sungai-sungai mengalir bertolak belakang. mereka tak
akan mengerti: bahwa melupakan adalah menguburkan ingatan. ingatan yang memiliki
rahim dari sebuah kloning waktu dan memperanakkan ingatan yang sama. entah apakah
ini kesalahan atau hanya mencari sesuatu yang lebih benar dari sekedar mengatakan
kebenaran.
aku masih saja mengenalmu: dari surat-surat yang menunggu. aku yang menuai kata-
katanya dari sebiji ingatan yang riuh dengan dongeng-dongeng yang kusadap dari puing-
puing jantungku. di sanalah kusimpan rapat-rapat rindu itu
aku dan waktu tak pernah berbohong. kamar rumah sakit ini juga. lampu-lampu neonnya.
lantai-lantainya. lukisan-lukisan dindingnya. ranjang yang setiap hari kutiduri. bahkan
kalender yang tahun-tahunnya berganti. pintu kamarku dikunci, dirapal oleh sesuatu yang
lebih kuat dari sihir. hanya saja, orang yang kutemui adalah orang yang sama.
aku mungkin tak begitu mengenalmu: dari jutaan birahi yang ingin memelukmu. kau tahu,
alangkah menyakitkannya menelurkan kata-kata yang disertai air mata. karena dari air
mata itu aku melihat kenanganmu, wajah-wajahmu, kata-katamu, dan
apa saja yang kukenali, kudengus, kulihat, kudengar, kurasa, kuajak bicara
[Palembang, 17'03'10]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H