Mohon tunggu...
achmadi fani Saputra
achmadi fani Saputra Mohon Tunggu... Freelancer - freelancer

Saya seorang freelancer yng biasa melakukan foto, video, editing foto dan video, membuat motion untuk kebutuhan promo, menulis artiker dan voice over

Selanjutnya

Tutup

Film

Berkaca diri dan lingkungan kita di film "Pulau Plastik"

14 November 2023   04:42 Diperbarui: 14 November 2023   05:30 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Film ini memulai perjalanannya dari Perairan Pulau Bali, seorang penyelam menyimpan beberapa sample sampah di dasar laut diantaranya berbahan kertas dan plastik. Salah satu penyelam itu terlihat berambut panjang, Saat itu Laut Pulau Bali sedang di kepung sampah plastik, yang sialnya itu bukanlah sampah penduduk warga Bali melainkan sampah kiriman dari berbagai pulau juga sampah kapal.

Bali memang terbilang sudah cukup lama mengurangi penggunaan kantong kresek saat berbelanja dengan cara tidak ada plastic kresek gratis, dengan begitu mendorong orang-orang untuk menggunakan totebag atau keranjang, untuk menghindari penggunaan plastik sekali pakai.

Selain memperlihatkan landscape underwater, awal film ini juga memperlihatkan paus yang mati karena memakan sampah plastik, juga seekor penyu yang hidungnya terluka juga karena sampah plastik yang tidak terurai.

Oh, ternyata penyelam berambut panjang itu adalah Robi, yang dikenal sebagai vokalis sekaligus gitaris pada band grunge/alternative rock asal Bali bernama Navicula. Saya tiba-tiba saja menangkap salah satu alasan kenapa Watchdoc atau Dandhy Laksono memilih Roby Navicula yang menemani perjalanan film ini.

Seingatku Navicula pada tahun dua ribu belasan (saya lupa saat itu dua ribu belas berapa, silahkan temans kompasiana bisa mencari tahunya sendiri).

Yes, Navicula saat itu merilis album format CD dengan cover albumnya dari sampah yang di daur ulang, dominan cover tersebut itu berwarna abu-abu atau silver kecoklatan kalau saya tidak salah mengingatnya, dan bercampur dengan warna lain yang acak. Cover album tersebut sudah pasti tidak ada yang sama persis, menghasilkan cover yang acak. Kebetulan saat itu saya sempat memegang dan mendengarkan, bahkan mungkin kubawa pulang ke rumah, dan sekarang entah di mana lagi CD yang kudapatkan gratis itu dari salah satu stasiun radio nasional di kotaku, tempatku bekerja saat itu. Tidak jarang musisi yang merilis sesuatu mengirimkan demo, atau album mereka ke stasiun tersebut. Mungkin CD itu sudah berpindah tangan, di tangan siapa saya tidak ingat lagi.

Ok, ayo kita kembali pada alur cerita filmnya temans kompasiana.

Awal film ini memperlihatkan landscape Laut Bali yang banyak sampah plastic mengapung. Pemandangan yang sangat aduh untuk pulau yang terkenal sebagai pulau wisata terpopuler tingkat dunia? Salah satu pulau terbaik di dunia? Atau apapunlah gelar yang diberikan untuk pulau ini. Sampah-sampah yang berserakan dipinggir pantai sangatlah ADUH.

Meskipun Plastic Island adalah film documenter, tapi film ini cocok dinonton untuk semua umur. Saya membayangkan sebuah keluarga kecil, berkumpul di ruang keluarga, menonton film ini bersama, papa, mama dan anak-anaknya. Setelah film selesai ditonton, dilanjutkan untuk membahasnya sebentar bersama anak-anak agar kita lebih bijak dalam menggunakan sesuatu, demi kehidupan anak tersebut nantinya. Lingkungan yang sehat adalah warisan terbaik untuk keturunan kita. Yah saya membayangkan tiba-tiba keluarga kecil menjadi klub film.

Film documenter ini terbilang ringan untuk dicerna, menggunakan gaya bercerita yang tidak membosankan, tidak ada pameran data ataupun grafik yang kadang terlihat rumit untuk beberapa penonton bahkan bisa membuat penonton mengantuk. Film ini mungkin juga sengaja menghindari gaya interview narasumber dengan gaya yang terbilang lawas, misalnya, melakukan interview di satu tempat, dengan satu angle kamera dengan narasumber yang bercerita panjang menggunakan pengambilan gambar close up secara still.

Saya juga melihat ada beberapa sequence yang sengaja dikemas dengan pengadegangan seperti pada film fiksi. Meskipun begitu "Plastic Island" tetaplah documenter.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun