Mohon tunggu...
Achmad Humaidy
Achmad Humaidy Mohon Tunggu... Administrasi - Blogger -- Challenger -- Entertainer

#BloggerEksis My Instagram: @me_eksis My Twitter: @me_idy My Blog: https://www.blogger-eksis.my.id

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Tradisi, Poligami, dan Edukasi dalam Film Kartini

19 April 2017   17:56 Diperbarui: 19 April 2017   22:47 6309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Screenshot Trailer Kartini (DokPri)*

Ketertarikan penulis dengan film Kartini muncul sudah sangat lama. Hal ini dimulai sejak wacana produksi film tersebut digaungkan tahun lalu bertepatan dengan tayang film Surat Cinta Untuk Kartini. Penulis pun tidak sabar untuk segera menontonnya. Akhirnya, penulis terpilih menjadi salah satu yang beruntung bisa menyaksikan film Kartini sejak awal tahap special screening pada hari Rabu, tanggal 5 April 2017 silam bersama rekan-rekan KoMiK (Kompasianer Only Movie enthusIast Klub) di Plaza Indonesia.

     Sosok Kartini dipuja sebagai tokoh yang memperjuangkan pendidikan di Indonesia dan setiap tanggal 21 April dirayakan secara nasional bertajuk Peringatan Hari Kartini. Namun kisah perjuangan Kartini bisa jadi tidak kita ketahui dengan baik. Melalui film Kartini, rumah produksi Legacy Pictures bekerja sama dengan Screenplay Films mencoba menghadirkan kembali sosok Kartini yang beda menjelang momen peringatan Hari Kartini.

    Mungkin Kompasianer mengenal Kartini sejauh ini hanya melalui tulisan-tulisan disuratnya, yang memuat berbagai gagasan, kegelisahan, dan keluh kesah yang lebih besar dan berumur panjang dibandingkan dari hidup Kartini itu sendiri. Tulisan-tulisan yang mengundang interpretasi terbuka terhadap kepribadiannya dan menjadi inspirasi perempuan hingga saat ini.

    Ironisnya, kebesaran ide Kartini selama beberapa dekade telah diartikan menyempit. Emansipasi kartini hanya dipandang sebagai sosok yang mengidamkan kesetaraan pendidikan dan mengenakan pakaian tradisional. Bahkan di era Orde Baru, pencanangan Hari Kartini dimanfaatkan sebagai pemakluman upaya domestikasi perempuan lewat organisasi Dharma Wanita.

    Menggiring nama Kartini sebagai sebuah brand, mengesankan sosok perempuan berbusana kebaya tradisional yang mengenakan sanggul. Di hari Kartini, berbondong-bondong perempuan Indonesia antri di salon-salon kecantikan untuk mempercantik diri demi kepentingan seremonial semata. Apakah Kartini hanya dianggap memiliki penampilan fisik saja?... 

    Mari kita telisik lagi mengenai indikator status pahlawan nasional. Apakah memang sosok pahlawan itu harus yang berjuang mati-matian saat mengangkat pedang atau bambu runcing dan mati di palagan setelah gencatan senjata? Ternyata tidak. Ini yang tercermin dari sosok Ibu Kita Kartini.

    Kartini merupakan sosok perempuan pemikir yang memuja feminisme ala Barat, tetapi juga memaknai fungsi kodratnya sebagai perempuan bertradisi Timur. Dalam satu suratnya, Kartini menulis, “Sudah lewat masanya, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, tetapi apakah Ibu sendiri menganggap bahwa masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah Ibu menyangkal bahwa di balik hal indah dalam masyarakat Ibu terdapat hal-hal yang sama sekali tidak patut disebut sebagai peradaban,” (Surat Kartini kepada Ny. E. Abendanon, 27 Oktober 1902).

     Di balik perjuangan fisik sekalipun terkandung semangat dan pemikiran yang nilainya melintasi ruang dan waktu. Ada nilai, motivasi, dan semangat yang terpatri dalam hati sanubari dan pemikiran para pahlawan. Pada kondisi seperti itu, para sineas perfilman Indonesia mengungkap tabir tentang Kartini berdasarkan versi penafsirannya masing-masing. Film Kartini versi Sjumandjadja di tahun 1984, Film Surat Cinta Untuk Kartini versi Azhar Kinoi Lubis tahun 2016, dan Film Kartini versi Hanung Brahmantyo tahun 2017 memiliki sudut pandang tersendiri.

     Sebelum masuk ke persoalan dan pergulatan struktur cerita, tim produksi Film Kartini membangun ide dasar dari hal-hal yang dialami Kartini sejak kecil. Mulai dari umur 4 tahun, dia tidak boleh tidur dengan ibunya karena ibu kandungnya bukan bangsawan.

    Kartini muda (Dian Sastrowardoyo) yang memiliki dua sosok ibu yang bertolak belakang. Ibu kandungnya adalah Ngasirah (Christine Hakim), anak seorang kyai. Ia berstatus sebagai rakyat biasa, bukan keturunan bangsawan. Ibu tirinya bernama Raden Ajeng Moeryam (Djenar Maesa Ayu).

    Peraturan kolonial Belanda mewajibkan seorang Bupati harus menikah dengan bangsawan. Untuk menjadi Bupati Jepara, ayah Kartini, Raden Mas Aryo Sosroningrat (Deddy Soetomo) terpaksa memadu Ngasirah dengan mempersunting seorang priyayi Raden Ajeng Moeryam, yang merupakan keturunan langsung dari Raja Madura.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun