Festival film menjadi ajang bergengsi bagi para pelaku dan penikmat sinema di Indonesia untuk bertemu. Setelah Jakarta Film Week, Festival Film Bandung, insan perfilman akan bertemu kembali di Yogyakarta. Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) merupakan festival film tahunan yang diadakan sejak 2006 dan telah menjadi destinasi prestisius bagi para sinefil untuk kolaborasi secara berkelanjutan.
   Pengalaman pertama kali penulis ke JAFF yaitu tahun 2022 lalu. Disitu, aku mewakili Kompasianer Only Movie enthusIat Klub (KOMiK) sebagai pembicara dalam salah satu sesi Community Forum yang menjadi wadah berkumpul dan ruang kolaborasi untuk saling diskusi. Sebab JAFF mampu melebur pelaku dan penikmat perfilman jadi satu tanpa sekat. Inilah hal-hal yang bisa memperkuat ekosistem perfilman nasional.
   Sebagai jembatan kebudayaan, JAFF menjelma jadi festival yang menghubungkan antar film, seni, pariwisata, dan ekonomi kreatif. Pada JAFF ke-19, bakal dihelat JAFF Market yang siap mewadahi kelahiran kolaborasi-kolaborasi baru bagi insan perfilman Asia. Apalagi penghargaan juga tetap digelar sebagai wujud apresiasi atas kontribusi sinema Asia menampilkan film-film yang berkualitas.
   Perayaan JAFF tahun 2024 akan dihelat selama delapan hari, mulai tanggal 30 November 2024 sampai 7 Desember 2024. Dengan tema "Metanoia", JAFF mendeskripsikan transformasi berkelanjutan sinema Asia demi capai keunggalan sinematik meski tantangan global di depan mata. Artwork yang sudah resmi disiarkan merepresentasi harapan menyala bagi pasar film Indonesia untuk terus berjaya.
   Dalam press conference melalui zoom meeting yang penulis ikuti kemarin, dua film Indonesia juga sudah diumumkan bakal tayang khusus selama disana. Film pembuka dipilih Samsara karya Garin Nugroho. Film bisu hitam putih berlatar Bali dengan perpaduan kolaborasi musik tradisi gamelan dan musik elektronik. Sementara film penutup ditunjuk 1 Kakak, 7 Keponakan karya Yandy Laurens. Sebuah cerita film yang diadaptasi dari naskah sinetron karya Arswendo Atmowiloto.
   Pemilihan dua film tersebut disinyalir sebagai bentuk pencapaian sinematik yang unik karena raihan penonton film Indonesia di bioskop mencatat rekor tertinggi sepanjang masa pada bulan September lalu. Selain itu, penonton film Indonesia makin kritis sehingga mereka lebih sering nonton film nasional dibanding film-film impor. Ini menjadi cerminan semangat Metanoia yang tumbuh cemerlang bersama visibilitas panggung global dan selalu buka ruang bagi siapa saja untuk berkreasi tanpa batas.
   Venue yang dipilih untuk penyelenggaraan JAFF tahun ini juga masih sama seperti tahun sebelumnya yaitu LPP Yogyakarta, Bioskop Empire XXI, dan platform digital streaming Klik Film. Lokasi acara tersebut akan menjadi tempat pemutaran film, ruang diskusi, hiburan, dan wadah apresiasi bagi karya-karya sinema terbaik yang terdiri dari 180 film dari 25 negara Asia Pasifik dalam program kompetisi dan non-kompetisi.
   Penulis sungguh tak sabar untuk melangkahkan kaki kembali datang ke gelaran festival film tahunan ini. Suasana yang bersahabat, kurasi film Indonesia yang begitu dekat dengan penonton, dan program-program baru tentu menambah animo buat ke Jogja. Satu hal yang penulis tunggu yaitu JAFF Market selama tiga hari di Jogja Expo Center. Ini akan jadi etalase industri film Indonesia untuk bertemu dengan talenta baru, pembuat konten, investor, institusi film, media, dan seluruh pihak yang terlibat dalam lingkup ekosistem perfilman nasional. Linda Gozali selaku Direktur JAFF Market mengatakan "JAFF Market hadir sebagai respons terhadap pertumbuhan industri film kita, khususnya paska pandemi. Harapannya, JAFF Market menjadi pemicu kelahiran kolaborasi-kolaborasi yang nanti dapat terus menumbuhkan ragam inovasi pada industri film nasional,".