Hari raya Idulfitri atau yang identik dengan istilah lebaran menjadi momentum untuk saling memaafkan. Kita harus kembali suci demi membasuh hati nurani seperti bayi yang baru terlahir. Itulah yang menjadi latar belakang tradisi saling memaafkan dengan berjabat tangan terhadap orang lain. Keluarga, tetangga, teman, atau kerabat lain mau tidak mau harus menerima permintaan maaf sebab masing-masing diri wajib menyadari kekurangannya sebagai manusia biasa yang bisa berbuat khilaf.
   Manusia tentu punya banyak kesalahan terhadap sesama. Momentum lebaran difungsikan sebagai waktu melebur dosa sehingga babak baru bulan Syawal, kita termasuk dalam golongan orang-orang yang suci atau fitri. Lebaran yang sudah kita rayakan dengan penuh gembira ria harus dimaknai pada fitrah kesucian kita yang tak luput dari dosa.
   Ingatkah kita saat lahir pertama kali ke dunia? Kita masih menjadi manusia yang tidak punya dosa, tak pernah berprasangka, dan tidak berbalas dendam. Inilah makna fitrah yang sebenarnya.
   Penulis jadi teringat ayat 43 surat Asy Syura dalam Alquran yang berpesan:
"Tetapi orang yang bersabar dan memaafkan sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan"
   Ayat ini bertujuan mengingatkan kita sebagai hamba Allah untuk memaafkan orang lain. Bagi siapa saja yang sudah melaksanakan ibadah puasa secara penuh selama sebulan dan mereka tak menuntut untuk pembelaan diri, tak mau berbalas dendam, dan memaafkan kejahatan orang lain terhadap dirinya berarti konteksnya sudah melakukan perbuatan mulia. Sesungguhnya sifat sabar dan pemaaf memang diutamakan dan dianjurkan dalam syariat Islam.
   Diharapkan dalam momentum lebaran, sesama umat muslim bisa menjalin hidup yang lebih harmonis bukan justru saling menjatuhkan. Apalagi kita lihat, sempat ada polemik yang terjadi pada umat muslim saat menentukan hilal 1 Syawal sehingga hari lebarannya berbeda. Seharusnya perbedaan yang ada tak boleh diruncingkan menjadi suatu pembenaran. Masing-masing dari kita harus saling menghormati perspektif selama cara mencari hilalnya masih dalam koridor Islam yang tidak menyimpang.
   Maka, sesama umat muslim wajib melupakan kesalahan orang lain dan niatkanlah tulus untuk memaafkan orang lain. Dengan demikian kita menjadi manusia atau insan yang menyerahkan diri kepada Allah sebab hanya Dialah yang Maha Mengetahui dan Maha Kuasa akan segala hal yang terjadi di dunia.
  Ketika ada orang lain yang berbuat jahat terhadap kita, maka kita juga tak boleh meminta kepada Allah untuk membalas kejahatan dengan kejahatan lain. Ada baiknya, kita mohon kepada Allah agar orang yang telah melakukan kesalahan terhadap kita diberi petunjuk sehingga Ia bisa mengakui kesalahannya.
  Memaafkan orang lain memang berat. Meski demikian, agama telah mengajarkan kita untuk menghapus bekas-bekas luka batin supaya tak berkepanjangan atau terus-terusan mengingat. Lantas, apakah maaf saja hanya pantas terlontar dari kata-kata? Tentu saja tidak. Kata 'maaf' harus diiringi dengan niat tulus, jabat tangan, dan interaksi lain yang lebih positif. Kondisi demikian akan membuka lembaran hidup baru untuk menciptakan suasana yang penuh kedamaian dan kita tetap berada dalam jalur kebajikan.