Pernahkah terbayang di benak Kompasianer, ada nama atau karya kita yang tetap eksis 50 tahun lagi?Â
Inilah yang disebut mencetak sejarah.
Sebagai bagian dari milenial yang terlanjur jatuh cinta dengan film Indonesia, penulis tak mengenal nama Usmar Ismail enam tahun yang lalu. Sejak kemunculan restorasi film "Tiga Dara", nama dari pejuang perfilman Indonesia ini mencuat di tengah generasi milenial dan gen Z. Dengan segala kondisi pasca kemerdekaan sampai kini; artefak, karya, dan nama Usmar Ismail masih hidup beserta masing-masing kisah dibaliknya yang jadi catatan sejarah.
Tak ada yang namanya film lama, hanya ada film yang diproduksi lebih dulu. Sebagian adegan filmnya masih menempel dalam ingatan Engel Tanzil yang ternyata merupakan penggemar dari sosok Usmar Ismail. Latar cerita dalam film yang dibuat Boeng Usmar Ismail nyatanya tak mau pergi dari benaknya, filmnya akan selalu ada sepanjang masa.
Terinspirasi dari ingatan itu, Engel Tanzil mulai apresiasi sosok Usmar Ismail dengan mewujudkan Pameran Boeng Usmar Ismail dalam Sinema Indonesia. Ia tak sendiri, pameran di Dia.Lo.Gue Artspace tersebut didukung oleh Museum Penerangan, KemDikBud RI, Omah Otara, dan Usmar Ismail Cinema Society. Penulis yang tergabung dalam komunitas film KOMiK mendapat undangan untuk hadir dalam penutupan pameran sekaligus dialog budaya dengan sosok-sosok yang masih peduli terhadap sejarah film Indonesia.
Pameran Boeng Usmar Ismail berhasil menyusun lembaran foto hitam putih yang bernyawa. Kertas-kertas sinopsis, skenario, surat kontrak kerja, dan kliping majalah juga tersaji di dalam meja panjang. Ajaib! Hasil mesin tik atau tulisan tangan secara manual masih bisa terbaca sampai sekarang. Beberapa cetak sablon promo film pun dipajang untuk salah satu spot pameran yang instagramable. Daftar film karya Usmar Ismail dalam rentang tahun yang beda ditempel memenuhi sekeliling pameran. Semua ini bagai harta karun nan berharga dalam sejarah film nasional yang tak ternilai.
Koleksi artefak film dan karya dari Usmar Ismail bukan sekadar pajangan. Selalu ada pelajaran dari masa lalu yang bisa dipetik untuk masa kini. Penulis sempat merinding saat mengunjungi pameran dua kali. Penulis paling suka saat berada di ruang audio visual sebab bisa melihat dan mendengar langsung seperti apa sosok Usmar Ismail dari opini orang-orang terdekat disekelilingnya.
Sejarah film Indonesia yang lawas begitu diperlakukan pantas. Deddy Otara selaku kolektor artefak film begitu tergerak untuk berkarya. Dari buku Tjitra karya Usmar Ismail, Ia menerjemahkan seperti apa pemikiran hebat yang mengawang dalam imajinasi pembacanya. Pameran Boeng Usmar Ismail pun dimaknai lebih luas tentang film, tokoh, buku, sejarah, dan proses berkarya dalam lintas generasi.