Gerak-gerik mataku melirik ke kanan dan ke kiri setiap selesai salat witir di masjid. Aku tak melihat lagi antrian anak-anak yang meminta tanda tangan ustad atau imam salat setiap malam. Segera aku tersadar bahwa momen itu terjadi sekitar 20 tahun yang lalu, tepat saat aku masih rajin untuk mengisi buku harian ramadan yang diwajibkan pihak sekolah.
Mungkin sekitar tahun 2010, buku harian ramadan itu sudah tak ada. Anak-anak zaman sekarang hanya disibukkan mengisi ramadan dengan ngegombal, ngegalau, ngegames, dan hal-hal lain yang tidak berfaedah. Kebutuhan anak zaman now itu hanya sebatas sandang, pangan, dan konten. Sekalipun buku harian itu ada pasti formatnya sudah dalam bentuk digital. Bukan lagi cetak seperti apa yang pernah aku bawa ke masjid saat kecil dulu.
Era 90an akses memperoleh informasi begitu terbatas. Aku dan teman-teman lebih banyak beraktivitas di luar rumah. Bermain dengan tetangga jadi pilihan untuk mengusir rasa bosan karena belum ada teknologi yang mendukung seperti sekarang. Khususnya, saat era presiden Gus Dur yang meliburkan sekolah selama sebulan penuh ramadan. Betapa bahagia libur ramadan saat itu yang setiap harinya harus mengisi buku harian.
'Wah! Aku ingat betul' Selain bawa buku harian ramadan, tentu aku harus membawa pulpen saat ke masjid. Selama mendengar ceramah, aku harus merangkum semua yang dikatakan ustad atau penceramah di masjid kala itu. Selesai salat, semua anak langsung menyerbu ustad atau kiai untuk meminta paraf di buku hariannya masing-masing. Ibarat penggemar yang meminta tanda tangan idolanya.
Beberapa temanku sering menyalin dari kajian agama apa saja yang sudah aku tulis rapi. Konon, tulisan tanganku dianggap seperti ketikan komputer. Ada juga yang meminjam buku punyaku saat sudah masuk sekolah dan mereka baru sibuk mengisi buku kegiatan ramadan itu sebelum dikumpulkan ke guru agama. Nah, Kompasianer ada yang malas seperti itu?
Supaya buku harian ramadan terlihat penuh, guru agama juga pernah mewajibkan untuk menyertakan cap atau stempel dari masjid yang didatangi setiap hari. Kalau untuk urusan ini, aku tak ada masalah karena ayahku termasuk pengurus masjid sehingga bisa lebih mudah dapat stempel dari masjid dekat rumah.Seingatku, buku harian ramadan punyaku tak menyisakan lembar kosong.
Setelah terisi, biasanya buku harian ramadan dikumpulkan ke guru agama islam di sekolah. Ada guru agama yang periksa lembaran demi lembaran dengan cermat. Ada juga yang hanya sebatas memberi nilai atau melihat isinya saja, penuh atau masih ada yang bolong. Setidaknya, buku harian Ramadan bisa mempengaruhi nilai agama di sekolah.
Buku harian ramadan bagai introspeksi buat diriku sendiri atas amalan apa saja yang sudah aku lakukan. Dari awal ramadan, aku pun niat mengisi buku harian itu tiap hari. Apalagi Rasulullah SAW bersabda "Jika salah seorang dari kalian telah memperindah islamnya, maka setiap kebaikan yang diamalkannya akan dicatat baginya dengan sepuluh kali lipat sampai tujuh ratus lipat. Dan setiap kejelekan yang Ia kerjakan akan dicatat baginya satu kejelekan semisalnya" (HR. Bukhari dan Muslim)
Buku harian ramadan juga jadi bukti bahwa aku telah mengikuti kegiatan ramadan di lingkungan rumah. Dengan adanya buku harian ramadan, aku merasa rutinitasku lebih terjadwal. Aku harus tahu apa saja yang harus aku lakukan sehingga ada kontrol diri untuk terus berbuat kebaikan.