Di bulan Ramadan, banyak tempat dijadikan pasar dadakan. Semua orang berlomba-lomba menjual barang dagangan di tempat tersebut. Biasanya, kita mengenal pasar dadakan ini dengan sebutan pasar kaget. Sebenarnya konsep yang diusung itu seperti pasar tradisional pada umumnya, namun pasar dadakan lebih nomaden dan tentatif. Pasar dadakan juga sering dikenal dengan istilah pasar pagi atau pasar malam karena memang dibuka pada waktu tertentu saja.
Lalu, masih adakah pasar dadakan di Jakarta?
Jika menelusuri daerah pinggiran Jakarta seperti Cengkareng dimana tempat domisili penulis, beberapa kawasan masih sering dijadikan tempat pasar dadakan diadakan. Peminatnya memang tak pernah sepi karena harga yang ditawarkan termasuk murah meriah. Barang dagangan yang dijual pun beragam mulai dari peralatan dan perlengkapan rumah tangga, pakaian, hingga makanan.
Bila bulan Ramadan tiba, pasar dadakan sering ada pada malam hari karena para pedagang membuka lapak sejak sore hingga malam. Pasar malam ini memang tidak memiliki tempat berdagang yang menetap. Para penjual tak perlu menyewa kios atau toko untuk menjajakan barang dagangannya. Mereka bebas memanfaatkan gerobak, terpal, atau tenda sebagai tempat berjualan. Para pedagang tersebut biasa berkumpul di lapangan yang besar, depan masjid, atau pinggir jalan untuk menggapai konsumennya. Mereka berupaya menjangkau konsumen dari para penduduk yang dekat dengan pemukiman warga.
Jadwal pasar malam pun terkadang tidak tetap. Ada yang seminggu sekali, dua minggu sekali, bahkan bulanan. Jelas saja kalau pasar ini juga bisa disebut sebagai pasar musiman.
Tapi, barang dagang yang dijajakan tidak musiman. Cuma memang penawaran yang diberikan sangat rendah dari harga pasaran. Sebagai contoh ada kaus kaki yang dijual dengan harga Rp10.000 namun pembeli akan mendapat 3 pasang. Begitu juga dengan 3 t-shirt yang bisa didapat pembeli dengan harga Rp100.000 saja. Selain pakaian, sepatu, aksesoris dan minyak wangi juga sering diobral dengan harga miring.
Bukan hanya sekedar belanja perabot rumah tangga, pasar malam juga menyediakan jajanan cemilan dan wahana permainan untuk anak-anak. Jajanan yang tersedia tentu membuat mulut kita tak berhenti mengunyah apa saja. Begitu juga saat anak-anak berada di wahana permainan, mereka bisa lupa waktu karena keasyikan bermain bahkan tak mau pulang.
Waktu kecil, penulis paling sering masuk ke wahana permainan rumah hantu. Di wahana ini kita bisa masuk dan menemukan sosok-sosok penampakan para hantu yang menakutkan. Bau kemenyan dan suara musik keras yang mencekam sengaja didengarkan kepada pengunjung yang masuk agar mereka bisa berteriak spontan. Rasanya seru bisa menguji adrenalin di dalam tempat itu.
Namun, wahana rumah hantu sudah jarang sekali ditemui di pasar malam. Mungkin saja karena para hantu sedang diikat selama bulan Ramadan. Saat ini hanya tampak permainan seperti bianglala, komedi putar, lempar gelang, mandi bola, mancing ikan-ikanan, istana balon, tong setan, dan kereta odong-odong.
Keramaian di pasar dadakan memang tak pernah terduga. Maka, kita harus selalu waspada. Mulai dari lalu lintas yang kadang semrawut atau tindak kejahatan yang bisa mengintai siapa saja. Jangan sampai lupa untuk siap siaga kemanapun Kompasianer datang ke pasar dadakan tersebut.
Lebih lanjut, pasar malam dulu dan sekarang memang tak banyak yang berubah. Setidaknya ketika kita ke pasar dadakan akan ada kenangan yang tak terlupa karena kita bisa berbelanja sekaligus berinteraksi dengan siapapun. Beda hal dengan generasi kekinian yang lebih memanfaatkan pasar digital dengan sensasi belanja online sehingga tidak banyak melibatkan unsur komunikasi tatap muka secara langsung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H