Konon generasi zaman old lebih mengagumkan dibanding generasi zaman now. Dahulu kala, nenek moyang lebih jeli menggunakan bambu sebagai produk kerajinan untuk keperluan rumah tangga, seperti peralatan dapur, tempat makan dan minum, serta rak-rak maupun dinding dan atap untuk rumah berbahan dasar bambu dan anyaman daun lontar. Jarang sekali ditemukan produk live in kit dari anyaman dan alat-alat makan (bamboo tableware set) yang berbahan dasar alami saat ini.
Namun, ada sekelompok generasi muda yang berkolaborasi dengan perajin anyaman dan bambu di Kabupaten Belu, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Mereka mampu menyulap anyaman dan bambu yang berbahan dasar dari alam menjadi barang bernilai tinggi hingga menembus pasar internasional.
Leloq menjadi brand atau merk yang diciptakan dalam Program Inovatif dan Kreatif melalui Kolaborasi Nusantara (IKKON) 2017 di bawah lembaga Badan Ekonomi Kreatif (BeKraf) Republik Indonesia. Brand ini tidak hanya menghasilkan produk yang bisa digunakan sehari-hari, beberapa pakaian dan konsep desa wisata minat khusus juga dihasilkan sebagai output kolaborasi bersama masyarakat lokal.
Keunggulan produk Leloq terlihat pada bahan alami yang berkualitas dengan desain produk yang menarik tanpa batas. Hasil pekerjaan yang dilakukan para pengrajin lokal juga terbilang halus dan rapi. Beda dari produk-produk sejenis yang lain.
Perangkat makan dan penunjang perangkat wisata dibuat menggunakan material bambu dan anyaman daun lontar karena terinspirasi dari rumah adat yang ditempati oleh warga lokal di Kabupaten Belu. Biasanya, bambu dan anyaman tersebut hanya menjadi pondasi dari rumah adat asli suku di Belu yang masih mempertahankan kearifan lokal.
Tim IKKON Belu berupaya memegang 3 prinsip dasar pengembangan brandlokal. Pertama, menciptakan nilai sosial (creating social value). Dengan mendorong ekosistem dan rantai nilai kolaborasi untuk menciptakan manfaat, keuntungan serta dampak yang berkelanjutan. Kedua, menciptakan nilai bisnis (creating business value). Dengan sistem bagi hasil (sharing profit) antara desainer dan perajin lokal yang terlibat. Ketiga, menciptakan nilai produk (creating product value). Dengan memunculkan nilai dan apresiasi dari suatu produk sebagai proses daya cipta estetika, manfaat, dan kualitas sehingga mampu bersaing melalui pengembangan desain yang tetap mempertahankan kelestarian alam. Maka, produk-produk yang dihasilkan terlihat berkualitas karena perpaduan nilai fungsi (functional), simbolik (symbolic), dan berdasar pengalaman (experimental).
Melalui pameran yang diadakan di Chiang Mai, produk-produk ini berusaha melakukan test market untuk pasar Internasional. Setelah sebelumnya, produk ini banyak diminati oleh masyarakat setempat di Kabupaten Belu saat diselenggarakan Atambua Fashion Culture Festival pada bulan Oktober lalu.
Hasil kolaborasi tim IKKON Belu 2017 juga bisa Kompasianer lihat pada BekRaf Festival yang digelar pada tanggal 7 -- 10 Desember 2017 di Bandung Creative Hub dan Gudang Persediaan PT KAI Bandung. Acara ini menjadi agenda rutin tahunan dari BEKraf yang digelar lintas daerah. Dalam gelaran tahun ini, Festival Bekraf menyuguhkan berbagai produk-produk ekonomi kreatif yang dibuat baik oleh lokal, maupun luar Bandung. Kemudian para deputi Bekraf dari berbagai bidang akan turut mengisi agenda lewat sharing session tentang 16 subsektor ekonomi kreatif.
Ternyata, segala sesuatu yang berbahan dasar alam dapat menjadi produk-produk yang menjanjikan jika ditekuni secara sungguh-sungguh berdasarkan atas kolaborasi bersama. Semoga saja produk-produk yang dihasilkan brand Leloq kedepan akan bertransformasi menjadi perlengkapan lain seperti rantang, keranjang, jemuran, tempat tissue dan produk-produk yang bisa bermanfaat dalam keseharian.
Mari, kita tingkatkan awarenessterhadap kegiatan ekonomi kreatif mulai dari aspek permodalan, infrastruktur, hingga pemasaran agar industri ekonomi kreatif dapat melaju signifikan dan bisa menjadi tulang punggung perekonomian negara Indonesia.