Mohon tunggu...
Achmad Humaidy
Achmad Humaidy Mohon Tunggu... Administrasi - Blogger -- Challenger -- Entertainer

#BloggerEksis My Instagram: @me_eksis My Twitter: @me_idy My Blog: https://www.blogger-eksis.my.id

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Selamat! Film "Night Bus" Layak Bawa Pulang Piala Citra

12 November 2017   13:48 Diperbarui: 12 November 2017   13:50 2151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bus dalam film Night Bus (www.nightbuspictures.com)

'Perang tidak akan terjadi apabila kita tidak memulai dengan gesekan di awal sama sekali'

Rasa ingin menonton muncul lagi setelah film Night Bus berhasil menembus nominasi film terbaik Festival Film Indonesia (FFI) 2017. Film yang diproduseri oleh Darius Sinathrya dan Teuku Rifnu Wikana ini memang tidak begitu lama tayang di bioskop, namun bagiku debut film karya mereka layak menjadi yang terbaik diantara nominator film-film lain yang juga sudah penulis saksikan sebelumnya.

Menonton film Indonesia tentang perang tidak selalu menjadi prioritas dalam jadwalku. Mengapa? Karena penulis termasuk salah satu sosok yang cinta damai, tidak suka dengan hal-hal yang bernuansa sadis, apalagi anarkis.

Salah satu film Indonesia yang penulis tonton saat Sekolah Dasar (SD) dulu, yaitu film tentang zaman sekitar tahun 80 hingga 90-an akhir yang bercerita tentang kisah Gestapu (Gerakan Tiga Puluh September)/G-30S PKI. Film ini hampir ditayangkan oleh stasiun televisi swasta sesuai dengan tanggal peringatan momen tersebut setiap tahun. Film perjuangan yang begitu seru, meski aku selalu didampingi orang tua setiap menontonnya hingga habis. Bukan tidak berani, namun ada beberapa adegan kekerasan yang harus diawasi.

Akhirnya, hari Minggu tanggal 9 April 2017 lalu, aku mendapat kesempatan nonton bareng Film Night Bus dari salah satu media online nasional di Pejaten Village Mall. Film ini bercerita tentang konflik di daerah perbatasan. Tepatnya, konflik yang terinspirasi dari kisah nyata di Tanah Rencong. Maka, Genre Film Night Bus yang diangkat bukan action, lebih mendekati thriller, walaupun dibeberapa bagian ada unsur melodrama.

Alkisah latar tempat (setting) dimulai tahun 1999 dari sebuah kota fiktif bernama Rampak yang siap menuju kota Sampar di ujung Pulau Santani. Dikisahkan sebuah bus antar kota yang disebut Bus Babad memberangkatkan penumpang dengan berbagai macam karakter dan motif untuk menuju kota yang dilanda konflik berkepanjangan karena kekayaan hasil bumi yang dimiliki kota tersebut. Kepergian para penumpang menyiratkan masing-masing kepentingan.

Ada seorang wartawan dari ibukota bernama Yuda (Edward Akbar), ada aktivis di NGO (Non-Government Organization) bernama Idrus (Abdurrahman Arif), ada konglomerat alias Orang Kaya Baru (OKB) bernama Umar (Torro Margens) dengan perhiasan emas di manapun hingga di giginya. Ada sepasang kekasih, Mala (Rahael Ketsia) dan Rifat (Arya Saloka) yang penakut. Ada juga seorang dokter perempuan berjilbab dengan logat asli daerah tersebut bernama Annisa (Hana Prinantina), ada seniman tuna netra bernama Luthfy (Agus Nur Amal) yang hampir sepanjang dialognya diuntaikan dalam nada positif, dan ada seorang nenek bernama Nur (Laksmi Notokusumo) yang didampingi seorang cucu perempuan bernama Laila (Keinaya Messi Gusti). Semua karakter begitu hidup secara visual menyentuh sisi traumatis dari masing-masing tokoh.

Para penumpang tersebut memiliki tujuan masing-masing. Ada yang ingin pulang dan bertemu dengan keluarga di Sampar, ada yang ingin berziarah ke makam anak yang baru meninggal, ada yang ingin menyelesaikan urusan pribadi serta mencari penghidupan yang lebih layak dengan rencana melamar kerja ke perusahaan tambang nasional yang kebetulan terdapat di kota Sampar, dan masih banyak lagi tujuan lain. Namun, mereka harus melalui perjalanan menantang maut di bus malam yang mereka tumpangi.

Pemeran nenek dalam film Night Bus (www.nightbuspictures.com)
Pemeran nenek dalam film Night Bus (www.nightbuspictures.com)
Awal film, penonton diajak berkenalan singkat dengan kota Sampar sebagai tujuan yang terkenal sebagai daerah konflik. Visual begitu indah dan mulai menyiratkan bahwa Sampar termasuk ke dalam area yang berbahaya.

Perjalanan dalam bus yang menempuh waktu 12 jam melewati seluk beluk rimbun perbukitan Sumatera begitu mempesona dan elok dipandang mata. Akan tetapi, keindahan itu hanya dinikmati sementara. Ketika malam menjelang, mulai terjadi berbagai aksi yang membuat penonton menarik napas, berempati, dan terhanyut dalam pertaruhan ketegangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun