Tugu atau monumen hingga situs-situs peninggalan bersejarah pun menjadi alat yang tidak boleh dirusak hanya untuk keperluan pembuatan film. Keterbatasan-keterbatasan sudut pandang kamera berhasil dikompromikan dalam film Banda.
Film ini eklektis karena menganggap Banda Neira sebagai titik nol Indonesia ketika dikenal dunia -- begitu banyak peristiwa terjadi di tempat ini sebelum menjadi Indonesia. Pala pun dipandang sebagai berkah sekaligus bencana bagi orang-orang Banda yang telah dibunuh dan terusir dari tanah airnya.
Namun, film ini sempat menuai kecaman oleh beberapa pihak. Â Pemberian alasan untuk memperkuat sejarah film ini menimbulkan sejumlah tanda tanya. Sempat beredar kabar bahwa film Banda mengungkap sudah tidak ada lagi orang Banda yang hidup sekarang karena telah terbantai oleh Belanda. Padahal, banyak orang asli Banda yang keluar meninggalkan harta bendanya dan berpencar di berbagai penjuru Maluku hingga luar negeri saat pertumpahan darah akibat penjajahan yang kejam di masa lalu. Berarti, orang asli Banda masih tetap ada bahkan memiliki keturunan yang banyak hingga hari ini.
Berdasarkan klarifikasi dari pihak rumah produksi mengaku bahwa eksistensi kelompok masyarakat Banda marga Eli dan Elat sebagai kelompok masyarakat Banda yang bermigrasi ketika terjadi kolonialisasi di Banda baik sebelum tahun 1621 maupun sesudah tahun tersebut memang masih ada.Â
Tim produksi pun sudah melakukan studi literatur melalui buku-buku bersejarah tentang Kepulauan Banda yang ditulis oleh Willard A. Hanna, Giles Milton, Adrian B. Lapian, hingga Mohammad Hatta. Bahkan, penelusuran juga dilakukan saat riset hingga ke Kampung Bandan (Jakarta Utara) dengan kesadaran masih ada orang asli Banda sampai sekarang. Riset selama 1,5 tahun sudah dipelajari dengan baik untuk produksi film ini.
Sebelum menonton film ini, penulis menyarankan kepada Kompasianer  agar membaca kembali sejarah Banda yang terkoyak sehingga bisa mencocokkan fakta tertulis dengan bahasa visual. Seperti yang penulis lakukan sebelum mendapat undangan gala premiere dari KoMiK (Kompasianer Movie enthus (I)ast Klub) pada tanggal 31 Juli 2017.Â
Dalam acara tersebut, produser juga mengatakan bahwa tepat di tanggal itu merupakan 350 tahun perjanjian Brenda. Perjanjian ini merupakan kesepakatan antara Inggris -- Belanda untuk menukar pulau Rhun di Kepulauan Belanda dengan Manhattan, New York di tahun 1667. Belanda rela melepas Nieuw Amsterdam (Manhattan) seluas 59 km2 agar bisa mengusir Inggris dari kepulauan Banda.
Rangkaian penyatuan visual dengan cerita dan judul film juga menjadi hal yang banyak diusik oleh para kritikus film. Dengan pesan nasionalisme yang ingin disampaikan seharusnya film ini tidak memakai bahasa asing sebagai judul yang bisa menciptakan pertentangan. Ada kontradiksi terjadi secara bertubi-tubi untuk menyebut film ini sebagai suatu edukasi sejarah murni.
Dibalik kontroversi, penulis merekomendasikan bagi siapa saja untuk menonton film dokumenter ini. Desain poster yang dibuat generate mampu membuat rasa ingin tahu yang begitu tinggi terhadap cerita film ini. Alunan musik pun mampu menghentak setiap pesan yang tervisualkan dalam narasi tinggi yang memiliki simfoni.Â
Nikmati sajian puisi karya Chairil Anwar dengan penuh intuisi warisan sejarah peradaban dunia dan akhir cerita film ini yang begitu sempurna untuk menggugah selera kebangsaan kita demi menciptakan masa depan Indonesia.