1. Tumpang Tindih Konsep Wanita Atau Perempuan.
Satu keunikan dalam bahasa Indonesia tampaknya seringkali terjadi tumpang-tindih antara penggunaan konsep wanita dan perempuan. Untuk konsep wanita di Indonesia selalu dikontraskan dengan pasangannya yaitu pria. Sedang untuk konsep perempuan dikontraskan dengan konsep laki-laki. Maka muncullah konsep pria dan wanita atau laki-laki dan perempuan. Belum lagi di kalangan remajapun muncul pula konsep lain yang sering pula kita dengar, yaitu kontras antara cowok dan cewek.
Dalam tulisan ini tidaklah hendak membahas kedua konsep itu, namun ada satu perubahan fenomena menarik, di mana sekarang ini konsep wanita oleh pemerintah telah diubah dan lebih diarahkan untuk penggunaan pada konsep perempuan. Walaupun (setahu saya) tidak ada aturan resmi akan perubahan konsep ini oleh pemerintah. Namun pemerintah dengan political willnya telah merubah konsep ini dalam berbagai aksi dan kegiatannya. Sebut misalnya; dulu zaman Orde Baru dikenal adanya Menteri Negara Urusan Peranan Wanita kini telah diubah menjadi Menteri Negera Pemberdayaan Perempuan. Belum lagi dalam berbagai event seminar yang bertemakan kesetaraan jender selalu mengambil tema dengan topik bahasan tentang dunia “ kepe-rempuan-an “ nya bukan lagi menggunakan konsep “ ke –wanita-an” nya. Karena sebagian orang menganggap bahwa konsep “kewanitaan”-nya itu dianggap agak kurang sopan. Pada hal entah di mana letak ketidaksopanannya itu, atau mungkin juga letak ketidak-sopanannya itu karena orang selalu berfikir pada organ intim kewanitaannya itu.
Namun paling tidak, menurut beberapa ahli sosiologi jender dan juga bahasa serta pemerintah, konon konsep wanita itu kini sudah harus diganti karena dianggap terlalu merendahkan kaum perempuan. Konsep wanita sendiri, kelihatannya diambil dariKirata Basa dalam bahasa Jawa.Kirata adalah suatu akronim dari Dikira-kira tapi nyata dan basa memiliki arti adalah bahasa. Jadi Kirata Basa, adalah bahasa yang dikira-kira tapi tampaknya memiliki arti yang nyata. Konsep gurudalam kirata basamemiliki artidigugu dan ditiru, konsep wariamemiliki arti; wanita pria dan akhirnya untuk konsep wanita;memiliki artiwani di tata. Wani memiliki arti berani. Berani yang memiliki arti untuk suatu keharusan mau diatur atau ditata oleh lawan jenisnya yang bernama pria. Dengan demikian untuk konsep wanita seolah-olah mahluk ini telah dikondisikan sebagai mahluk yang tersubordinasi yang harus mau diatur oleh laki-laki.
Maka konsep wanita menurut banyak kalangan sebaiknya kini diubah menjadi konsep per-empu-an.. suatu kata yang memiliki kata dasar empu. Empu sendiri memiliki arti; ibu, induk, atu pangkal. Dengan demikian per-empu-an, memiliki arti lebih terhormat sebagai induk kehidupan atau pangkal kehidupan. (Hersri,1981) Selain itu juga kata empusering juga untuk menjelaskan pada seseorang yang memiliki keahlian khusus, seperti misalnya Mpu Tantular, Mpu Gandring, Mpu Sendok dan lain sebagainya yang terkenal memiliki keahlian khusus di zamannya yang tidak semua orang mampu melakukannya.
Namun demikian kelihatannya perubahan konsep ini tidak semua orang mengerti, tahu dan memahaminya, hal ini terlihat bahwa masih banyak di dalam masyarakat kita masih tetap menggunakan dan mensubsitusikan antar kedua konsep ini, sehingga terkesan menjadi tumpang-tindih.
2. Eksploitasi Perempuan atas Perempuan.
Diakui atau tidak, gerakan emansipasi perempuan sebenarnya banyak diadopsi daeri teori-teori barat, yang terkadang sebenarnya tidak seluruhnya cocok untuk digunakan dalam konteks budaya Indonesia. Hal itu wajar, karena ketika gerakan emansipasi bergema terutama di dataran Eropa, ketika itu Eropa tengah mengalami masa transisi dari feodalisme ke arah kapitalisme.
Kaum perempuan yang selama itu, dikungkung oleh tradisi aristoktasi yang demikian kuat menginginkan kebebasan yang sama untuk berkiprah di sektor publik. Dalam konteks emansipasi di barat memang iklimnya demikian liberal, sehingga gerakan-gerakan feminis radikal yang Marxis sangat mendorong untuk emansipasi seperti ini. Tetapi untuk kasus Indonesia kelihatannya tidaklah seekstrim itu. Hal ini seperti dinyatakan oleh rekan penulis, seorang ahli sosiologi jender dari Universitas Brawijaya, yang ketika kembali dari mengikuti seminar di Belanda, dengan nyata-nyata di dalam forumnya ia menjelaskan bahwa gerakan emansipasi di Indonesia tidaklah akan menghilangkan kodrat perempuan yang berasal dari benua timur.
Dengan demikian, perempuan Indonesia masih tetap mau menghargai laki-laki sebagai suami sekaligus mitranya. Fenomena ini jadi cukup unik. Kenapa dikatakan cukup unik ?. Karena ditengah gencarnya tuntutan akan hak-hak perempuan, kaum perempuan Indonesia secara umum masih menjadi kaum yang termarjinalkan, baik secara ekonomi maupun secara sosial. Perempuan masih dituntut untuk menjalankan tugas-tugas domestik, selain pencari nafkah. Tugas domestik sebenarnya suatu tugas yang mulia, namun karena secara ekonomi tidak ada nilainya, maka tugas ini menjadi tidak ada harganya.
Kendatipun seiring dengan itu, kini kaum perempuan Indonesia sudah banyak yang mampu berpendidikan tinggi, berkiprah di sektor publik. Maka konsekuensinya, tugas domestiknya kini diserahkan pada orang lain yang biasanya adalah pembantu rumah tangga. Dalam kenyataannya pembantu rumah tangga ini yang juga nota bene adalah perempuan seringkali pula tidak dilindungi oleh Undang-Undang dan rawan pada eksploitasi, pelecehan seksual, perkosaan, dan kekerasan serta tidak ada jaminan sosial. Bukti-bukti banyak menunjukkan keberadaan pembantu rumah tangga seringkali dijadikan sapi perah oleh majikan, penghargaan dan perlindungan terhadapnya sama sekali kurang bahkan cenderung tidak ada. Bukti terakhir misalnya, TKW Indonesia yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Malaysia mengalami penyiksaan dan dengan upah yang sangat kecil (Kompas 9 Maret 2003).