Perjalanan pemekaran Kabupaten Bogor Barat memang mengalami dinamika pasang surut. Tarik menarik kepentingan politik tidak dapat dipungkiri turut mewarnai rencana pemekaran Daerah Otonom Baru (DOB) tersebut. Berdasarkan hasil kajian pemerintah Kabupaten Bogor pada tahun 2007, diperoleh keterangan bahwa secara geografis, luas wilayah keselurahan Bogor Barat yakni 1.124,060 meter persegi yang terdiri dari 166 desa dan 14 kecamatan dengan jumlah penduduk 1.227.420 jiwa sudah memenuhi syarat berdasarkan UU 32 tahun 2004 Bogor Barat layak dimekarkan.(Radar Bogor, 15/08)
Momok Despotisme
Bukan hal yang mudah dalam kesuksesan, butuh konsistensi perjuangan tatkala rintangan menghadang. Demikianlah gambaran perjuangan masyarakat Bogor Barat selama ini. Namun demikian, beberapa tokoh berceloteh bahwa rencana pemekaran Bogor Barat hanya akan menjadi kepentingan sekelompok elit untuk bagi-bagi kue kekuasaan (Jurnal Bogor, 15/08). Munculnya celotehan tersebut harus dimaknai sebagai respon kekhawatiran yang wajar. Tetapi, penulis mencoba mendeskripsikan dan respon paranoid semacam ini dengan dampak pemekaran DOB terhadap konstelasi politik daerah. Jika masyarakat Bogor Barat tidak mengawal dengan baik, maka bukan tidak mungkin yang terjadi adalah politik despotisme (kekuasaan sewenang-wenang) di kalangan sekelompok elit tertentu, munculnya embrio raja-raja kecil di daerah dan kemungkinan munculnya sebuah dinasti politik baru di DOB tersebut sebagaimana terjadi di beberapa daerah lain yakni Dinasti politik Ratu Atut Chosiyah di propinsi Banten, dinasti politik Sukawi Sutarip di propinsi Jawa Tengah dinasti politik Sinyo Harry Sarundajang di propinsi Sulawesi Utara dan dinasti politik lainnya di beberapa daerah lain di Indonesia. Memang, secara konstitusi dinasti politik tidak disalahkan, akan tetapi menjadi salah secara etika politik ketika terjadi konsentrasi kekuasaan yang seringkali mempraktikan despotisme kekuasaan yang koruptif dan hegemonik.
Realitas Rumah Kaca Kekuasaan.
Fenomena ini terjadi pada daerah pemekaran baru, di propinsi Banten misalnya. Realitas rumah kaca kekuasaan terlihat jelas ketika rakyat tidak ubahnya sebagai penonton yang secara transparan melihat segala tindakan mereka, tetapi sangat sulit untuk menyentuhnya, berkomunikasi, dan mengawasi tindak-tanduk para elit politik didaerahnya. Tetapi seiring waktu, masyarakat secara perlahan sadar akan realitas kekuasaan yang timpang tersebut dan mulai memperlihatkan "power politic" dan keberanian mereka untuk hadir memantau bahkan melakukan kritik dan koreksi terhadap perilaku kekuasaan semacam ini.
Harapan pada Pemimpin Virtue (keteladanan politik)
Dalam tradisi politik, satu prinsip yang menjadi baromoter masyarakat untuk memilih pemimpinnya, yaitu bisa mengamalkan sila ke 5 dari Pancasila, "keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia". Prinsip ini membutuhkan hadirnya seorang pemimpin yang kuat, tangguh dan sanggup menegakan komitmen res-publica (kepentingan publik) diatas ras-privata (kepentingan pribadi/golongan). Mungkin sila ke 5 dalam pandangan makro, tapi jika kita lihat dalam kacamata lokal, prinsip itu sangat diperlukan untuk mengimplementasikan kebijakan dan program yang dirancang oleh seorang pemimpin terlebih DOB. Prinsip virtue ini pun harus dimaknai sebagai prinsip kepemimpinan yang meletakan kebaikan bersama dan kepentingan publik sebagai orientasi keutamaan pemberdayaan ummat. Ketika virtue dapat ditegakan, maka muncul kebanggaan yang membawa pada partisipasi publik dalam pembangunan daerah.
Isult Honohon (2002) dalam dalam buku "Republicanism", menguraikan keutamaan virtue sabagai landasan kepemimpinan republik/daerah dibangun berdasarkan empat prinsip. Pertama, prudentia (kebajikan) yaitu nalar praktis yang keberanian pemimpin meletakan kebaikan bersama diatas kepentingan personal. Kedua, fortitudi (keberanian) yaitu keberanian pemimpin mengambil kebijakan berdasarkan kepentingan rakyat diatas kepentingan lainnya. Ketiga, decorum (moderasi) kemampuan mengambil sikap seimbang berdasarkan situasi yang berubah. Keempat, justistia (keadilan) kemampuan bertindak imparsial, jujur dan menekankan pada prinsip kesetaraan (egaliterisme) sebagai nahkoda bagi setiap kebijakan politik yang diambil. Karenanya, pemekaran daerah harus berdampak pada peningkatan dan pertumbuhan organisasi dan manajemen daerah yang berdampak langsung pada kualitas pembangunan. Hal ini meliputi perbaikan dalam Sumber Daya Aparatur, Sumber Daya Finansial, Sumber Daya Masyarakat, Sumber Daya Organisasi Perangkat, Sarana dan Prasarana dasar. Oleh sebab itu, masyarakat Bogor Barat sudah selayaknya mempersiapkan calon pemimpin kapabel, berpengalaman, militan, mengerti sosio-kultural Bogor Barat dan kreatif progresif. Sebab, jika salah memilih pemimpin maka perjuangan panjang para tokoh dan masyarakat untuk memekarkan Bogor Barat hanya akan sia-sia dan hanya menjadi harapan perubahan semu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI