Mengungkap Dampak Tersembunyi Fitur 'Like' dan 'Dislike' di Media Sosial
Pengaruh fitur "Like" dan "Dislike" dalam media sosial tidak bisa diremehkan. Dalam dunia yang semakin terkoneksi, di mana setiap tindakan digital meninggalkan jejak, fitur sederhana ini telah mengubah cara manusia berinteraksi. Seiring dengan pertumbuhan media sosial yang terus meningkat, seperti yang dicatat oleh Statista pada tahun 2023, ada sekitar 4,9 miliar pengguna media sosial di seluruh dunia. Jumlah ini menunjukkan bagaimana fitur interaktif seperti "Like" dan "Dislike" memiliki dampak yang sangat luas.Â
Artikel ilmiah "Role of 'Likes' and 'Dislikes' in Influencing User Behaviors on Social Media" oleh Ofir Turel dan Hamed Qahri-Saremi (2024) dari Journal of Management Information Systems menyoroti hal ini dengan mendalam. Mereka menemukan bahwa "Like" dapat mendorong perilaku keterlibatan positif, sementara "Dislike" sering kali memicu respons emosional yang lebih tajam, sesuai dengan prinsip dari prospect theory yang menekankan bahwa manusia lebih sensitif terhadap kehilangan daripada keuntungan (Turel & Qahri-Saremi, 2024). Studi ini mengungkap bahwa 65% dari pengguna media sosial lebih cenderung berhenti berinteraksi dengan konten setelah menerima "Dislike" daripada mereka yang menerima "Like". Ini menunjukkan bahwa meskipun fitur "Like" mempromosikan interaksi positif, keberadaan "Dislike" tidak boleh diabaikan dalam konteks manajemen sistem informasi, karena ia dapat menurunkan tingkat keterlibatan pengguna. Selain itu, survei dari Pew Research Center pada 2020 menemukan bahwa 70% pengguna media sosial merasa lebih emosional terpengaruh oleh interaksi negatif daripada positif, yang memperkuat temuan Turel dan Qahri-Saremi bahwa "Dislike" memiliki dampak lebih mendalam daripada sekadar ketidaksetujuan sederhana.
Penelusuran Lebih Lanjut
Studi yang dilakukan oleh Turel dan Qahri-Saremi (2024) memberikan wawasan baru mengenai bagaimana fitur "Like" dan "Dislike" di media sosial memengaruhi perilaku pengguna. Dengan menggunakan prospect theory, mereka menunjukkan bahwa interaksi dengan konten yang menerima "Like" menciptakan perasaan validasi sosial dan mendorong keterlibatan lebih lanjut. Sebaliknya, "Dislike" lebih sering memicu emosi negatif seperti frustrasi atau rasa ditolak, yang dapat mengurangi keterlibatan secara signifikan. Dalam survei yang dilakukan sebagai bagian dari penelitian ini, sebanyak 60% responden menyatakan bahwa mereka cenderung menghindari konten yang mendapat banyak "Dislike", sedangkan 30% lainnya melaporkan bahwa mereka merasa terpicu untuk terlibat lebih lanjut dengan konten tersebut karena adanya perasaan tidak setuju yang ingin mereka ungkapkan secara publik (Turel & Qahri-Saremi, 2024).
Salah satu temuan menarik dari penelitian ini adalah hubungan antara respons emosional terhadap "Dislike" dengan karakteristik individu. Menurut artikel tersebut, pengguna dengan tingkat narsisme yang tinggi lebih terpengaruh oleh "Like", sementara individu dengan kecenderungan emosional yang lebih tinggi mengalami dampak yang lebih besar dari "Dislike". Ini didukung oleh riset sebelumnya yang dilakukan oleh Carpenter (2012), yang menunjukkan bahwa individu narsistik lebih banyak mengukur harga diri mereka dari jumlah "Like" yang mereka terima di media sosial. Namun, studi Turel dan Qahri-Saremi menambahkan dimensi baru dengan mengeksplorasi bagaimana toxic behaviors online, seperti serangan verbal atau komentar negatif, sering kali berasal dari individu yang menerima lebih banyak "Dislike" daripada "Like". Hal ini menimbulkan implikasi serius dalam desain platform media sosial, terutama dalam hal bagaimana menangani konsekuensi negatif dari interaksi pengguna dengan fitur ini.
Fakta bahwa 70% dari pengguna media sosial merasa lebih terpengaruh oleh interaksi negatif di media sosial (Pew Research Center, 2020) menambah kompleksitas masalah ini. Penggunaan "Dislike" sebagai sarana untuk mengekspresikan ketidaksetujuan bisa mendorong perilaku agresif dan toxic, yang pada gilirannya dapat mengurangi pengalaman pengguna secara keseluruhan di platform tersebut. Turel dan Qahri-Saremi merekomendasikan untuk mempertimbangkan ulang desain fitur "Dislike", mungkin dengan memberi konteks lebih lanjut tentang mengapa sebuah konten diberi "Dislike", daripada sekadar menjadi sebuah indikator negatif yang tidak memiliki penjelasan. Strategi ini dapat mengurangi eskalasi respons emosional negatif dan menghindari perilaku yang lebih berisiko, seperti trolling atau cyberbullying, yang saat ini masih menjadi tantangan besar di platform media sosial.
Penelitian yang dilakukan oleh Turel dan Qahri-Saremi (2024) memberikan wawasan penting tentang bagaimana fitur sederhana seperti "Like" dan "Dislike" dapat memengaruhi perilaku pengguna media sosial. Dari sudut pandang sistem informasi, temuan ini menunjukkan pentingnya memahami interaksi digital bukan hanya sebagai bagian dari pengalaman pengguna, tetapi juga sebagai elemen yang dapat memicu respons emosional yang kuat. Dengan meminimalisasi efek negatif dari "Dislike" dan memaksimalkan potensi positif dari "Like", platform media sosial dapat menciptakan ekosistem yang lebih sehat dan inklusif. Studi ini, yang didukung oleh data empiris dan analisis mendalam, menekankan pentingnya desain fitur yang lebih hati-hati dalam memastikan bahwa pengguna tidak terdorong pada perilaku berisiko atau negatif.
Implikasi dari penelitian ini juga menyentuh isu-isu etika dan kesehatan mental di era digital. Ketika 65% dari pengguna merasa terpengaruh oleh "Dislike" (Turel & Qahri-Saremi, 2024), ini menunjukkan bahwa platform memiliki tanggung jawab untuk mengurangi potensi dampak emosional yang merugikan. Rekomendasi untuk mendesain ulang fitur "Dislike" menjadi lebih informatif dan kontekstual patut dipertimbangkan oleh para pengembang platform. Dalam jangka panjang, perubahan ini dapat membantu menciptakan ruang digital yang lebih aman dan konstruktif bagi penggunanya.
Referensi