Sentiong itu dijadikan wahana bermain anak-anak. Atapnya yang datar dan cukup luas adalah tempat yang ideal bermain layang-layang. Bahkan ada sentiong yang dijadikan tempat tinggal sekumpulan pengrajin mainan anak-anak yang terbuat dari bambu seperti othok-othok, gasing, pletokan,dll.
Melihat kemegahan sentiong yang ada, dapat dipastikan penghuninya adalah orang-orang kaya, para pembesar atau mungkin pejabat pemerintahan.
Sementara itu komunitas masyarakat Tionghoa hidup rukun dan bersahaja tinggal dikawasan yang disebut Petak. Warga pecinan di Kota Bambu ini banyak yang berprofesi sebagai penjual sekba keliling. Sekba atau bektim adalah makanan khas Tionghoa di Indonesia yang  berupa jeroan babi yang direbus dalam kuah sup berbahan kecap dan bumbu-bumbu ramuan China.
Kota Bambu sebagai kantong pemukiman warga Betawi identik dengan warga yang menghuni di gang andong, jl.tali dan sekitarnya. Tradisi dan religiusitas dijalankan warganya dengan kuat.
Jangan lupa, di Kota Bambu ada rumah besar bekas peninggalan warga Perancis yang pada tahun 1976 diresmikan menjadi museum tekstil. Tapi entah mengapa saya tak pernah punya kesempatan memasukinya. Hanya kekaguman yang terbersit tiap kali melintas didepan rumah besar yang kerap dijadikan properti film-film nasional.
Dan saya selalu ingin melintasi lagi jalan itu yang panas dan hiruk pikuk hanya untuk sekedar mengagumi rumah bergaya Indisch  sambil melihat poster bruce lee,alpacino, atau membeli stensilan lagu-lagu Indonesia populer pada pedagang emperan sambil minum es tebu giling...slurpp, seperti dulu!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H