Mohon tunggu...
Achmad Fauzi
Achmad Fauzi Mohon Tunggu... Diplomat - Mahasiswa

Universitas Bina Nusantara - Business Management 2019

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Perang Dagang, Indonesia Vs Uni Eropa?

29 Oktober 2019   20:46 Diperbarui: 29 Oktober 2019   21:02 608
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa sih perang dagang itu ? Arti kata perang sendiri adalah  adanya permusuhan atau perselisihan antar dua belah pihak, namun yang pasti ini bukan saling hunus pedang, atau saling tembak satu sama lain ya.

Perang Dagang adalah konflik ekonomi yang terjadi ketika suatu negara memberlakukan atau meningkatkan tarif atau hambatan perdagangan lainnya sebagai balasan terhadap hambatan perdagangan yang ditetapkan oleh pihak yang lain. (BusinessDictionary.com. Diakses tanggal 2019-29-10).

Mudahnya, perang dagang merupakan konflik ekonomi dengan cara pemberlakuan kebijakan pembatasan impor antar-negara. Pembatasan kegiatan impor tersebut diataranya adalah dengan meningkatkan bea masuk barang, melarang barang tertentu diimpor, membuat standard barang yang masuk menjadi lebih tinggi, barang tertentu harus diuji lagi dan mendapat sertifikasi tambahan, dll

 Lalu ada masalah apa sih Indonesia dengan Uni Eropa (UE) ? Kenapa Indonesia bisa perang lawan UE? Perselisihan ini dimulai dari  diberlakukannya tarif ganti rugi (countervailing) berupa bea balik 8 persen hingga 18 persen pada impor biodiesel bersubsidi dari Indonesia. Countervailing adalah penambahan biaya - biaya masuk barang import sebagai  langkah untuk menanggulangi dugaan kecurangan yang dilakukan dalam ekspor barang. Countervailing diatur pada :

  • WTO melalui GATT Article VI
  • GATT Agreement on Subsidies and Countervailing Duties

Indonesia diduga melakukan kecurangan, yaitu pemerintah memberikan subsidi pada komoditi kelapa sawit dan turunannya. Subsidi pada komoditi untuk eksport dapat membuat harga komoditi menjadi dibawah harga pasar, dan hal ini bisa menjadi kasus Dumping (penetapan harga dibawah harga pasar untuk menembus pasar eksport)

Penambahan bea masuk yang dilakukan UE ternyata direspon keras oleh Indonesia dengan berjanji untuk membalas dengan tarif kontra dari 20 persen hingga 25 persen terhadap produk susu dari UE. Tarif balasan yang dilakukan Indonesia atas produk susu UE mungkin bukan pukulan signifikan bagi UE, mengingat negara Asia Tenggara mengimpor hanya $220 juta produk susu dari mereka, tapi tindakan keras UE terhadap kelapa sawit akan memberikan pukulan telak terhadap Indonesia, mengingat Indonesia eksport kelapa sawit / CPO (Crude Palm Oil) ke UE dengan nilai ekspor $444 juta atau sekitar 6 triliun rupiah.

Aksi saling balas bea masuk ini bisa semakin meningkatkan tensi kedua belah pihak terkait minyak kelapa sawit antara kedua mitra dagang ini. Selain penambahan bea masuk CPO, pada awal tahun 2019 saja UE sudah membuat Indonesia marah dengan menyebutkan bahwa mereka akan mengurangi penggunaan CPO /  minyak kelapa sawit untuk bahan bakar transportasi pada tahun 2030 dengan dalih  perkebunan kelapa sawit menimbulkan deforestasi.

Indonesia berpendapat bahwa UE melakukan diskriminasi terhadap produk CPO (Crude Palm Oil) atau minyak kelapa sawit mereka. Jika deforestasi dijadikan alasan untuk UE melarang penggunaan CPO, seharusnya  biodiesel lain yang berbahan dasar soybean, rapseed dan sun flower juga dilarang.

Namun kenyataanya tidak. Padahal kelapa sawit menggunakan lahan 9x lebih efisien dibanding biodiesel lainnya. Beberapa pihak berpendapat UE melakukan diskriminasi terhadapa CPO Indonesia karena UE ingin melindungi produk biodiesel berbahan dasar rapseed dan sun flower yang dihasilkan dari negara negara anggota UE.

Hal ini membuat Indonesia mengancam akan menarik diri dari Kesepakatan Iklim Paris dan berencana untuk membawa aturan itu ke WTO, dimana UE diduga melanggar peraturan perdagangan global. Perdagangan yang diskriminatif itu dilarang dan diatur oleh WTO dalam Principles of the trading system dalam point

Perdagangan tanpa diskriminasi

Most Favoured Nation (MFN): memperlakukan pihak lain secara adil dibawah perjanjian WTO, negara -- negara tidak diperkenankan melakukan diskriminasi diantara partner -- partner perdagangannya. Memberikan sebagian pihak ketentuan special (seperti biaya rendah untuk beberapa produk mereka) dan Anda diwajibkan melakukan hal yang adil kepada semua member WTO.

 Penulis tentu berharap perang dagang tidak benar benar terjadi. Masih ada alternatif -- alternatif lain yang dapat ditempuh agar Indonesia sebagai exportir terbesar minyak kelapa sawit tetap dapat menjual produknya atau bahkan menggunakannya sendiri untuk kebutuhan dalam negeri. Karena penulis yakin tidak ada perang yang menciptakan kebaikan, seperti kata Benjamin Franklin "There is no good war, or a bad peace".    

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun