Bojonegoro adalah kota kecil yang terletak diujung barat provinsi Jawa Timur, walaupun Bojonegoro adalah kota kecil, tapi disini banyak tersimpan hal-hal yang patut untuk dieksplor lebih dalam, baik dari segi sejarah, budaya dan bagaimana masyarakatnya berkembang. Bojonegoro dulu hanyalah kota kecil biasa yang belum punya nama di kancah nasional maupun Internasional. Dulu sebelum ada Sumber Daya Alam berupa migas, Bojonegoro masih sangat bergantung dengan industri di sektor pertaniannya untuk menopang biaya hidup warga Bojonegoro.
Keberadaan minyak Bojonegoro pertama kali ditemukan oleh seorang sarjana bernama Adrian Stoop pada tahun 1893 di Ledok, Desa Wonocolo yang berbatasan dengan Cepu, Jawa Tengah. Pada tahun 1893, Adrian Stoop mendirikan perusahaan migas pertama di Indonesia yang bernama Dortdtsche Petroleum Maatschappij (DPM). Seiring berjalannya waktu, perusahaan tersebut sempat beberapa kali berganti nama dari Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM), PTMRI, Permigan, Pusdik Migas, PPTMGB Lemigas, PPT Migas, dan terakhir menjadi Pusat pendidikan dan latihan Minyak Bumi dan Gas (Pusdiklat Migas).
Saat ini Pusdilkat Migas telah berubah menjadi satu-satunya lembaga pendidikan tentang minyak di Indonesia, yaitu Akademi Minyak dan Gas (AKAMIGAS). Potensi besar minyak bumi di bumi Angling Dharma sudah menjadi bahan perbincangan sejak tahun 2006 silam. Dalam hal ini, mengandung cadangan Migas sebesar 7,7 triliun kaki kubik minyak bumi atau setara 650 juta barel. Inilah yang akhir-akhir ini membuat Bojonegoro menjadi sorotan publik sebagai daerah penghasil minyak yang akan menopang kebutuhan minyak nasional. Bahkan ada yang berpendapat kalau Bojonegoro menjadi sumber minyak bumi se Asia Tenggara. Meskipun telah ada sumber minyak bumi di Bojonegoro, warga Bojonegoro hanya menikmati sedikit keuntungan dengan adanya sumber minyak bumi tersebut.
Melihat kepedihan itu Bupati Bojonegoro, Suyoto atau yang biasa dipanggil akrab Kang Yoto langsung turun tangan. Beliau ingin dampak dari adanya minyak bumi di Bojonegoro juga bisa dirasakan rakyatnya. Beliau membeberkan bahwa dampak migas bagi ekonomi Bojonegoro itu ada pada saat eksplorasi dan eksploitasi, dan saat mulai produksi migas. Hal itu merupakan dampak langsung bagi warga Bojonegoro sebab mereka bisa bekerja langsung di perusahaan migas di Bojonegoro dan pendapatan mereka tercukupi karena adanya lapangan kerja tersebut.
Pendapatan Bojonegoro dari dana bagi hasil (DBH) migas memang cukup besar. Diakui Kang Yoto, tahun ini kurang lebih sekitar Rp900 miliar telah digunakannya untuk membiayai anak sekolah setingkat Sekolah Menengah Atas (SMA). Kang Yoto mengatakan bahwa Uang dari migas. Pendidikan memang harus pemerintah utamakan, jangan sampai anak-anak Bojonegoro putus sekolah karena tak punya biaya sekolah.
Wajah Bojonegoro kini sudah berubah. Ekonomi di Kabupaten yang terkenal dengan camilan Ledrenya itu telah memasuki babak baru. Perusahaan minyak dan gas bumi skala internasional, Exxon dan disusul dengan Petrochina yang berdiri lebih dulu memercikkan api-api ekonomi bagi warga Bojonegoro. Keberadaan perusahaan raksasa asal Amerika Serikat tersebut memberi dampak terhadap berdirinya penginapan dan rumah makan. Selain itu, upah minimum regional yang hanya Rp 1,4 juta per bulan mengundang daya tarik investor lain untuk menanamkan modalnya.
Geliat pertumbuhan ekonomi di Bojonegoro sudah terlihat dengan munculnya hotel-hotel mewah  dan rumah makan yang berkelas di Bojonegoro. Dulu Bojonegoro terkenal sekali akan banjirnya,tapi sekarang Bojonegoro terkenal akan Sumber Daya Alam Minyak dan Gas yang bahkan penyumbang kebutuhan 20% migas nasional. Selain itu Bojonegoro saat ini juga sedang giat-giatnya melakukan pembangunan berkelanjutan dari sektor fasilitas dan utilitas demi terciptanya BOJONEGORO MATOH.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H