Ki Ageng Suryomentaram (1892-1962) hidup semasa terjadi masa transisi dari budaya tradisi ke budaya modern. Suryomentaram hidup semasa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwana VII, VIII, dan IX. Suryomentaram pula hidup semasa Pemerintahan Hindia Belanda, penjajahan Jepang, dan pra atau paska kemerdekaan negara Republik Indonesia.
Bila melihat tahun kelahirannya, Ki Ageng Suryomentaram lahir sesudah ayahnya Sri Sultan Hamengkubuwana VII memerintah di Kesultanan Yogyakarta selama 15 tahun (sejak tahun 1877).Â
Sungguhpun hidup di tengah gelimang harta benda orang tuanya, namun Suryomentaram tetap hidup dalam kesederhanaan sebagai rakyat biasa. Terutama sesudah menyaksikan kehidupan para petani sewaktu melakukan perjalanan dari Yogyakarta ke Surakarta.
Dikatakan hidup bergelimang harta, Ki Ageng Suryomentaram hidup dalam keluarga istana yang tengah menanjak tingkat pendapatannya sesudah pemerintah Hindia Belanda membangun 17 pabrik gula.Â
Di samping itu, Suryomentaram yang bekerja di gubernuran sesudah tamat kursus di Klein Ambtenaar. Namun gelimang harta benda yang melingkupi hidupnya tidak membuatnya bahagia. Mengingat harta benda tersebut dapat diperoleh dengan mudah dan tidak melalui kerja keras sebagaimana dilakukan oleh rakyat jelata.
 Berkat kesadaran bahwa penghasilan yang membuatnya bahagia dengan dicapai melalui bekerja keras, Ki Ageng Suryomentaram ingin menanggalkan gelar keningratannya menjadi rakyat biasa.Â
Rakyat yang bekerja keras hanya untuk menyambung hidup. Mengingat waktu itu, kehidupan rakyat dalam penindasan sejak pemerintah Hindia Belanda hingga penjajahan Jepang.
Karena tekadnya untuk menjadi rakyat biasa sudah bulat, Ki Ageng Suryomentaram tidak mengikuti anjuran Sri Sultan Hamengkubuwana VII agar tidak meninggalkan istana dan menanggalkan gelar keningratannya.Â
Sesudah hidup mengembara dari tempat satu ke tempat lainnya, Suryomentaram bekerja konkrit sebagai penjual ikat pinggang dan batik. Suryomentaram pula bekerja sebagai penggali sumur di wilayah Kroya, Cilacap.
Pengembaraan terpenggal ketika Ki Ageng Suryomentaram terconangi penyamarannya sebagai rakyat biasa bernama Natadangsa oleh orang kepercayaan Sri Sultan Hamengkubuwana VII. Karena masih mencintai kedua orang tuanya, Suryomentaram kembali ke istana.
Sewaktu tinggal di istana, Ki Ageng Suryomentaram menghadapi masalah kemelut politik yang memiliki hubungan langsung dengan keluarga ibunya. Di mana Patih Danureja VI yang merupakan kakeknya dibebastugaskan oleh Sri Sultan Hamengkubuwana VII dari jabatannya. Tidak lama kemudian, Raden Ayu Retnamandaya ibunya diceraikan oleh Hamengkubwana VII.