ALKISAH seorang pendeta yang berpadepokan di sebelah barat laut Pajajaran. Nama pendeta yang dapat mengetahui kejadian sebelum waktunya (ngerti sadurunge winarah) itu bernama Ki Ajar Capaka. Oleh raja Pajajaran, Ki Ajar Capaka akan diuji kesaktiannya. Maka sang raja memerintahkan pada patihnya untuk merekayasa istri simpanannya itu senampak sedang mengandung. Sesudah melaksanakan tugasnya, patih Pajajaran beserta istri simpanan raja Pajajaran itu menemui Ki Ajar Capaka.
Mengetahui sedang diuji, Ki Ajar Capaka mengatakan bahwa istri simpanan raja Pajajaran itu benar-benar mengandung anak laki-laki. Melihat kenyataan yang tidak diharapkan itu, raja Pajajaran murka bukan kepalang. Dibunuhlah Ki Ajar Capaka. Sebelum menghembuskan napas terakhir, Ki Ajar Capaka menjatuhkan kutukan, "Apabila besok ada seorang pemuda bernama Siyungwanara, saatnya aku berbalas dendam!"
Sepeninggal Ki Ajar Capaka, raja Pajajaran memanggil seluruh ahli nujum untuk menangkal agar kutukan itu tidak menimpanya. Namun para ahli nujum mengatakan bahwa kutukan Ki Ajar Capaka itu bakal menjadi kenyataan jika terjadi kisah seorang anak membunuh ayahndanya sendiri. Karenanya, para ahli nujum menyarankan kepada raja Pajajaran agar membunuh putra yang bakal dilahirkan oleh istri simpanannya itu.
Beberapa bulan kemudian, lahirlah putra raja Pajajaran. Oleh raja Pajajaran, bayi itu diracun. Karena tidak mati diracun, raja Pajajaran kembali berusaha membunuhnya dengan senjata tajam. Karena tidak mempan dengan senjata tajam, raja Pajajaran itu memerintahkan bawahannya untuk membuang bayi itu ke sungai Karawang. Diharapkan bayi itu tewas sesudah hanyut di dalam air sungai.
Bersama arus Sungai Karawang, bayi yang tidak mati itu sampai di suatu tempat. Oleh Kiai Buyut Karawang yang sedang mengail di tepi sungai, bayi itu ditemukan. Oleh Kiai Buyut, bayi yang dipungut sebagai putra angkat itu diberi nama Ki Jaka. Sesudah dewasa, Ki Jaka berganti nama Siyungwanara. Nama yang dibentuk dari dua kata yakni 'Siyung' yang menunjuk pada salah satu jenis burung dan 'Wanara' yang bermakna kera.
Pada Ki Buyut Karawang, Siyungwanara bertanya tentang siapakah ayahnya kandungnya. Ki Buyut Karawang menjawab bahwa Siyungwanara merupakan putranya sendiri. Sesudah mendapat jawaban yang tidak sebenarnya itu, Siyungwanara diajak Ki Buyut Karawang untuk pergi ke kotapraja Pajajaran. Menemui saudaranya yang bekerja sebagai tukang pandai besi dan membuat berbagai senjata untuk raja Pajajaran.
Karena sangat suka tinggal di kotapraja Pajajaran, Siyungwanara yang tidak ikut pulang bersama Ki Buyut Karawang kemudian belajar membuat berbagai senjata pada tukang pandai besi itu. Oleh si pandai besi, Siyungwanara diangkat sebagai anaknya.
Pada suatu hari, Siyungwanara mendengar kabar tentang para prajurit Pajajaran yang tengah berlatih perang di alun-alun. Karena ketertarikan dengan latihan perang itu, Siyungwanara ingin menyaksikannya dari dekat. Pandai besi melarangnya. Akan tetapi, Siyungwanara yang memiliki kemauan keras itu tidak menghiraukan larangan itu. Ia pergi ke alun-alun Pajajaran. Menyaksikan para prajurit yang tengah berlatih perang.Â
Sesudah bosan menyaksikan para prajurit yang berlatih perang di alun-alun, Siyungwanara memasuki istana raja Pajajaran. Berhenti di Balesawo. Memainkan seluruh alat musik gamelan yang ada di sana. Raja Pajajaran yang mendengar kegaduhan di Balai sawo memerintahkan para mantri untuk menangkap pelakunya. Tidak khayal kemudian, terjadilah perkelahian antara Siyungwanara dan para mantri. Karena kesaktian yang dimiliki Siyungwanara, sebagian dari para mantri itu menderita luka parah di sekujur tubuh mereka. Sebagian lainnya tewas dengan sangat mengenaskan.
Mengetahui kesaktian Siyungwanara, raja Pajajaran meminta laporan pada salah seorang mantri tentang siapakah nama dan orang tua anak itu. Sang mantri memberikan jawaban, bahwa anak itu bernama Siyungwanara dan merupakan anak si tukang pandai besi.