Hari berikutnya, pasukan Majapahit menyeberangi Sungai Tambak Beras untuk mencapai Tuban. Melihat kenyataan itu, Mantri Gagarangan dan Tambak Baya melapor pada Ranggalawe. Dengan gelegak amarah di dada, Ranggalawe memerintahkan pasukannya untuk menghadapi pasukan Majapahit.
Di medan laga, Ranggalawe yang mengendarai kuda Mega Lamat itu bertempur melawan Nambi yang mengendarai kuda Brahma Cikur. Pertempuran keduanya berlangsung sangat dahsyat. Hingga akhirnya Brahma Cikur berhasil ditikam oleh Ranggalawe. Namun, Nambi berhasil mengelak dan berlari untuk menyelamatkan diri ke selatan. Beserta pasukannya, Ranggalawe melakukan pengejaran hingga Sungai Tambak Beras.
Berita kekalahan pasukan Majapahit oleh pasukan Tuban disampaikan oleh Hangsa Terik pada Dyah Wijaya. Mendengar laporan itu, Dyah Wijaya bersumpah untuk menghancurkan Kotapraja Majapahit kalau tidak berhasil menaklukkan Ranggalawe. Beserta pasukannya, Dyah Wijaya menuju Tuban. Pertempuan pasukan Majapahit dan Tuban pun tidak dapat dihindari.
Untuk menghindari semakin banyaknya korban berjatuhan, Lembu Sora meminta izin pada Dyah Wijaya untuk menghadapi Ranggalawe. Dyah Wijaya mengizinkan. Ranggalawe dikepung dari tiga arah. Mahisa Nabrang dari timur. Gagak Sarkara dari barat. Majang Mekar dari utara.
Pertempuran sengit terjadi di arah timur. Mahisa Nabrang berperang melawan Ranggalawe. Kuda Mahisa Nabrang berhasil dilumpuhkan oleh Ranggalawe, namun penunggangnya berhasil menyelamatkan diri. Hari selanjutnya, Mahisa Nabrang berperang lagi melawan Ranggalawe. Peperangan keduanya berlangsung di seberang Sungai Tambak Beras.
Peperangan berlangsung semakin sengit. Ranggalawe dan Mahisa Nabrang berperang dengan ilmu kanuragan yang dimilikinya. Peperangan berlanjut di dalam air. Ranggalawe berhasil mendesak Mahisa Nabrang. Namun ketika sampai di tengah, Mahisa Nabrang berhasil menikam kuda Ranggalawe. Akhirnya Ranggalawe yang terpeleset batu itu berhasil ditenggelamkan ke dalam air oleh Mahisa Nabrang. Sesudah kehabisan napas, Ranggalawe gugur di tempat itu. Mengetahui Ranggalawe tewas, Lembu Sora menikam Mahisa Nabrang dari belakang. Panglima perang Majapahit itupun tewas.
Sepeninggal Ranggalawe (1295), Arya Wiraraja yang merasa sakit hati itu menghadap Dyah Wijaya untuk mengundurkan diri dari jabatannya. Menagih janji Dyah Wijaya sebagaimana pernah diucapkan di Sumenep (Perjanjian Songeneb) yakni membagi wilayah Kerajaan Majapahit menjadi dua bagian. Janji itu dipenuhi oleh Dyah Wijaya. Majapahit bagian timur hingga selatan sampai pantai diserahkan pada Arya Wiraraja. Sesudah mendapat wilayah kekuasaan, Arya Wiraraja menjadi raja Majapahit Timur dengan ibukota di Lumajang. Sementara, Majapahit Barat dengan pusat pemerintahan di Majakerta tetap dikuasai oleh Dyah Wijaya.
Pembantaian Lembu Sora dan Pengikutnya
PERISTIWA perang antara Majapahit dengan Tuban di Sungai Tambak Beras merupakan awal prahara yang menimpa Lembu Sora. Dikarenakan sewaktu Lembu Sora menikam dari belakang pada Mahisa Nabrang yang baru saja membunuh Ranggalawe itu dilaporkan Halayuda pada Dyah Wijaya.
Mendengar laporan itu, Dyah Wijaya mengutus Halayuda untuk menghadap Lembu Sora ke Daha. Setiba di Daha, Halayuda menyampaikan amanat Dyah Wijaya bahwa Lembu Sora akan dihukum buang ke Tulembang. Karena tidak ingin dipermalukan di hadapan rakyat Majapahit, Lembu Sora memilih dihukum mati dari Dyah Wijaya ketimbang dihukum buang. Disertai Gajah Biru dan Juru Demung, Lembu Sora pergi ke Majapahit.
Halayuda yang berhasrat menyingkirkan Lembu Sora itu pergi ke Majapahit terlebih dahulu. Melapor pada Dyah Wijaya bahwa Lembu Sora akan melakukan pemberontakan pada Majapahit. Mendengar laporan itu, Dyah Wijaya memerintahkan pasukan pengawal raja untuk menghadapi Lembu Sora.
Sesudah berhadapan dengan Lembu Sora yang disertai Gajah Biru dan Juru Demung itu, pasukan pengawal raja itu menyerangnya. Karena tidak membawa pasukan dan senjata, Lembu Sora beserta Gajah Biru dan Juru Demung tewas dibantai beramai-ramai. Melihat kematian Lembu Sora, Halayuda merasa senang. Mengingat tinggal seorang lagi yakni Nambi yang menjadi penghalang untuk mewujudkan ambisinya menjadi Rakryan Mahapatih di Majapahit.[Sri Wintala Achmad]