Sebelum Majapahit berdiri, tokoh Mahapati yang disebutkan dalam Kidung Surandaka dan Serat Pararaton atau Halayuda yang disebutkan dalam Prasasti Sidateka (1323 M) belum muncul. Baru semasa awal pemerintahan Dyah Wijaya, tokoh Mahapati mulai muncul di panggung sejarah.
KEMUNCULAN tokoh Mahapati ketika terjadi perselisihan pendapat antara Dyah Wijaya dengan Ranggalawe tentang pengangkatan Mpu Nambi sebagai patih.Â
Di mana Ranggalawe menghendaki Lembu Sora yang pengabdiannya pada Dyah Wijaya lebih besar ketimbang Mpu Nambi itu sebagai patih di Majapahit. Karena pendapatnya tidak diterima oleh Dyah Wijaya, Ranggalawe meninggalkan pertemuan di balairung Majapahit untuk pulang ke Tuban.
Baca juga : Jokowi dan Mahapatih Gajah Mada
Ketika Ranggalawe berada di Tuban, Mahapati melancarkan aksinya untuk memberikan laporan palsu pada Mpu Nambi. Laporan palsu itu menyatakan bahwa Ranggalawe yang pulang di Tuban tengah memersiapkan pasukan untuk memberontak terhadap Majapahit.
Akibat laporan palsu Mahapati; timbullah perang besar antara pasukan Majapahit di bawah kepemimpinan Mpu Nambi, Lembu Sora, dan Kebo Anabrang dengan pasukan Tuban di bawah kepemimpinan Ranggalawe di Sungai Tambak Beras.
Dari pertempuran itu, Ranggalawe tewas di tangan Kebo Anabrang. Kebo Anabrang sendiri kemudian tewas di tangan Lembu Sora yang tidak merelakan kematian Ranggalawe keponakannya.
Dari peristiwa pembunuhan Kebo Anabrang di Sungai Tambak Beras itu dijadikan alasan Mahapati untuk menyingkirkan Lembu Sora. Karenanya kepada Dyah Wijaya, peristiwa terbunuhnya Kebo Anabrang di tangan Lembu Sora itu dilaporkan.
Mendengar laporan Mahapati, Dyah Wijaya menjatuhkan hukum buang pada Lembu Sora.
Baca juga : Konspirasi di Balik Skandal Masintan: antara Raja, Mahapatih dan Petinggi Wara-wara
Inilah yang memicu hasrat Lembu Sora untuk menghadap Dyah Wijaya dngan maksud agar raja menjatuhi hukuman mati ketimbang hukuman buang yang memalukan.