MEMBICARAKAN tentang Kesultanan Pajang tidak dapat dilepaskan dengan nama Mas Karebet. Seorang anak yatim piatu yang diasuh Nyi Ageng Tingkir, sesudah kedua orang tuanya -- Ki Ageng Pengging dan Nyi Ageng Pengging -- meninggal. Karena tinggal di desa Tingkir, Mas Karebet dikenal dengan Jaka Tingkir.
Sesudah menginjak dewasa, Jaka Tingkir yang pernah berguru pada Ki Ageng Sela itu mengabdi pada Kesultanan Demak. Dalam pengabdian pertamanya, Jaka Tingkir diusir dari Kesultanan Demak sesudah membunuh Dadungawuk. Namun berkat petunjuk dari Ki Buyut Banyubiru, Jaka Tingkir berhasil mengabdi kembali pada Sultan Trenggana sesudah berhasil membunuh Kebo Danu.
Atas jasanya pada Sultan Trenggana, Jaka Tingkir tidak hanya diangkat sebagai adipati di Pajang bergelar Adipati Hadiwijaya, namun pula dinikahkan dengan Ratu Mas Cempaka. Sesudah Sultan Trenggana dan Sunan Prawata meninggal, kekuasaan Adipati Hadiwijaya mulai terlepas dari bayang-bayang Kesultanan Demak.
Meninggalnya Sunan Prawata dan Pangeran Pangeran Hadiri yang menyebabkan Ratu Kalinyamat bertapa di Gunung Danaraja membangkitkan rasa keprihatinan Adipati Hadiwijaya. Karenanya Adipati Hadiwijaya berhasrat untuk meringankan beban penderitaan Ratu Kalinyamat dengan membinasakan Adipati Arya Penangsang dari Jipang.
Sesudah berhasil membunuh Arya Penangsang melalui Pamanahan beserta Penjawi, Juru Mrentani, dan Raden Bagus; Adipati Hadiwijaya menobatkan diri sebagai sultan di Pajang. Dengan demikian, Kesultanan Pajang dibawah kekuasaan Sultan Hadiwijaya sebagai raja resmi berdiri pada tahun 1549.
Sejak perang antara pasukan Pemanahan dengan pasukan Arya Penangsang di Bengawan Sore (Bengawan Solo), Kesultanan Pajang tidak luput dari kisah perang hingga masa keruntuhannya pada tahun 1587. Kisah perang yang terjadi semasa Kesultanan Pajang, antara lain: 1) Kisah perang antara Kesultanan Pajang dan Mataram semasa pemerintahan Sultan Hadiwijaya; 2) Kisah perang antara pasukan gabungan Mataram-Jipang dan Kesultanan Pajang semasa pemerintahan Arya Pangiri.
Pajang Versus Mataram
KARENA dapat memenangkan sayembara untuk memenggal kepala Arya penangsang, Penjawi mendapatkan tanah Pati. Sementara, Pemanahan mendapat tanah Mentaok atau Mataram. Karenanya, Pemanahan kelak dikenal dengan nama Ki Ageng Mataram. Sepeninggal Pemanahan, Raden Bagus (Danang Sutawijaya) menjadi penguasa Mataram di bawah kekuasaan Sultan Hadiwijaya dari Pajang. Selama menjabat sebagai penguasa Mataram, Raden Bagus yang dikenal dikenal dengan Panembahan Senapati dihadapkan pada dua konflik yang memicu perang antara Mataram dengan Pajang.
Konflik pertama antara Raden Bagus dengan Sultan Hadiwijaya dikarenakan masalah pembuangan Tumenggung Mayang (adik ipar Raden Bagus) ke Semarang. Pembuangan tersebut dilakukan karena Tumenggung Mayang mendukung hubungan asmara antara Raden Pabelan dengan putri Sultan Hadiwijaya.
Berita tentang pembuangan Tumenggung Mayang tersebut terdengar oleh Raden Bagus. Karena istri Tumenggung Mayang masih adik kandung Raden Bagus, maka penguasa Mataram itu mengirim 40 mantri pajak untuk merebut Tumenggung Mayang dari pasukan Pajang.
Berangkatlah para mantri pajak. Sesudah melintasi Kedu, mereka menuju Jatijajar. Setiba di Jatijajar, mereka bertemu dengan pasukan Pajang. Terjadilah pertempuran sengit antara utusan Mataram dan Pajang. Dalam pertempuran itu, pasukan Mataram dapat menaklukkan pasukan Pajang hingga dapat merebut Tumenggung Mayang.
Konflik kedua yakni dipicu oleh kecurigaan Sultan Hadiwijaya atas Raden Bagus yang menampakkan gelagat akan membangkang dari Pajang. Kecurigaan semakin menjadi-jadi, sewaktu Sultan Hadiwijaya menerima laporan dari pasukan Pajang mengenai perebutan Tumenggung Mayang yang dilakukan oleh utusan Raden Bagus di Jatijajar.
Karena keyakinannya bahwa Raden Bagus akan membangkang dari Pajang, Sultan Hadiwijaya segera memimpin pasukannya untuk menyerbu Mataram. Setiba di Prambanan, pasukan Pajang bertempur melawan pasukan Mataram. Dalam pertempuran itu, pasukan Pajang dapat dipukul mundur oleh pasukan Mataram. Menurut Babad Tanah Jawa, kejayaan Mataram atas Pajang dikarenakan intervensi dari penguasa gaib Laut Selatan -- Kangjeng Ratu Kidul, dan penguasa gaib Gunung Merapi.
Sesudah peristiwa pertempuran antara Mataram dan Pajang, Sultan Hadiwijaya yang dalam perjalanan pulang itu jatuh sakit. Tidak seberapa lama, Sultan Hadiwijaya meninggal. Sepeninggal Sultan Hadiwijaya, Sunan Kudus membuat kebijaksanaan. Dimana tahta kekuasaan Pajang diserahkan pada Adipati Demak -- Arya Pangiri (putra Sunan Prawata) yang merupakan menantu Sultan Hadiwijaya. Sementara Pangeran Banawa hanya dinobatkan sebagai Adipati di Kadipaten Jipang.
Pajang versus Kualisi Jipang - Mataram
BANYAK pendapat yang menyatakan bahwa Arya Pangiri memiliki banyak kelemahan yang fatal atas keberlangsungan Kesultanan Pajang. Selain sifatnya yang mudah curiga, Arya Pangiri tidak perduli pada kesejahteraan rakyat. Arya Pangiri hanya berfokus pada cara untuk dapat menaklukkan Mataram. Menaklukkan Mataram berarti memusuhi Sutawijaya. Memusuhi Sutawijaya berarti melanggar wasiat Sultan Hadiwijaya (mertua) agar tidak berani pada saudara tua.
Arya Pangiri pula memiliki kelemahan lain yakni banyak mendatangkan penduduk dari Demak dan menyingkirkan penduduk asli Pajang. Kebijakan Arya Pangiri ini mengakibatkan sebagian warga Pajang kehilangan mata pencaharian dan kemudian beralih pekerjaan sebagai perampok atau pencuri. Sementara sebagian warga Pajang lainnya berpindah ke Jipang untuk menghamba pada Pangeran Banawa.
Sesudah mengetahui tata pemerintahan Arya Pangiri yang cenderung menggencet nasib warga asli Pajang, Pangeran Banawa mengutus duta ke Mataram. Duta tersebut menyampaikan maksud Pangeran Banawa agar Senapati Ngalaga bersedia menjadi raja di Pajang. Menggantikan Arya Pangiri.
Di hadapan Panembahan Senapati, duta Jipang itu menyampaikan pesan dari Pangeran Banawa. Namun Panembahan Senapati menolak untuk dijadikan raja di Pajang. Panembahan Senapati justru menyampaikan pesan pada duta Jipang itu agar Pangeran Banawa bersedia menjadi Raja Pajang. Panembahan Senapati pula berpesan agar Pangeran Banawa pergi ke Mataram bersama pasukannya dengan melalui Gunungkidul.
Duta Jipang meninggalkan Mataram. Menghadap Pangeran Banawa dan menyampaikan pesan dari Panembahan Senapati. Sesudah dapat menangkap maksud tersirat dari Panembahan Senapati, Pangeran Banawa berserta pasukannya berangkat ke Mataram dengan melalui Gunungkidul. Setiba di Weru; Pangeran Banawa disambut oleh Panembahan Senapati, pasukan Mataram, dan orang-orang Pajang yang tidak sepakat atas pemerintahan Arya Pangiri di Pajang. Tidak ketinggalan pula, beberapa saudara Panembahan Senapati, antara lain: Raden Tompe (Tumenggung Gagakbakni), Raden Santri (Pangeran Singasari), dan Raden Jambu (Pangeran Mangkubumi).
Hasil dari perbincangan antara Pangeran Banawa dan Senapati Ngalaga adalah menyerbu Kesultanan Pajang dan menurunkan Arya Pangiri dari tahta kekuasaaan. Dari Weru, berangkatlah pasukan gabungan Jipang, Mataram, dan orang-orang Pajang menuju ibukota Pajang. Pertemuan pasukan Arya Pangiri yang terdiri dari orang-orang Demak dan Kudus dengan pasukan gabungan yang dipimpin oleh Pangeran Banawa dan Panembahan Senapati tidak dapat dihindari lagi.
Dengan kuda Kiai Bratayuda, Panembahan Senapati mengamuk. Hingga banyak pasukan Arya Pangiri mundur dengan berlari tunggang-langgang. Tak lama sesudah Kesultanan Pajang dapat ditaklukkan, Arya Pangiri yang diturunkan dari tahta kekuasaannya itu dipulangkan oleh Panembahan Senapati ke Demak. Pangeran Banawa kemudian dinobatkan sebagai raja di Kesultanan Pajang.
Sesudah Arya Pangiri dilengserkan dari tahta kekuasaannya, Pangeran Banawa naik tahta sebagai Raja Pajang bergelar Sultan Prabuwijaya. Hubungannya dengan Panembahan Senapati semakin erat, manakala Sultan Prabuwijaya menikahkan putrinya yang bernama Dyah Banowati (Ratu Mas Adi) dengan Raden Mas Jolang.
Beberapa naskah babad memberitakan versi yang berbeda tentang akhir pemerintahan Sultan Prabuwijaya di Pajang. Versi pertama menyebutkan, bahwa Sultan Prabuwijaya turun tahta karena meninggal pada tahun 1587. Versi ke-2 menyatakan, Sultan Prabuwijaya turun tahta karena menjadi ulama di Gunung Kulakan bergelar Sunan Parakan. Versi ke-3 mengabarkan, Sultan Prabuwijaya meninggalkan tahta di Kasultanan Pajang karena membangun pemerintahan yang sekarang bernama Pemalang. Konon Sultan Prabuwijaya meninggal di Desa Penggarit, Pemalang. Sepeninggal Sultan Prabuwijaya, Panembahan Senapati menobatkan Pangeran Gagak Baning adiknya sebagai adipati di Pajang. Pada saat itulah, status Pajang sebagai bawahan Mataram. [Sri Wintala Achmad]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H