Mohon tunggu...
Sri Wintala Achmad
Sri Wintala Achmad Mohon Tunggu... Penulis - Biografi Sri Wintala Achmad

SRI WINTALA ACHMAD menulis puisi, cerpen, novel, filsafat dan budaya Jawa, serta sejarah. Karya-karya sastranya dimuat di media masa lokal, nasional, Malaysia, dan Australia; serta diterbitkan dalam berbagai antologi di tingkat daerah dan nasional. Nama kesastrawannya dicatat dalam "Buku Pintar Sastra Indonesia", susunan Pamusuk Eneste (Penerbit Kompas, 2001) dan "Apa dan Siapa Penyair Indonesia" (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2017). Profil kesastrawanannya dicatat dalam buku: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017); Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018). Sebagai koordinator divisi sastra, Dewan Kesenian Cilacap periode 2017-2019.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menguak Makna "Tapa Wuda Asinjang Rikma" Ratu Kalinyamat

7 Juli 2019   05:56 Diperbarui: 7 Juli 2019   05:58 398
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

MENURUT naskah kuna Babad Tanah Jawa, Ratu Kalinyamat melaksanakan tapa brata di Gunung Danaraja, suatu wilayah di Jepara. Namun sumber berbeda menyebutkan bahwa selain bertapa brata di Gunung Danaraja, Ratu Kalinyamat bertapa di Gelang Mantingan dan di Danarasa.

Seandainya berpindah-pindahnya tempat Ratu Kalinyamat di dalam melaksanakan tapa brata itu selaras dengan fakta sejarah, maka memunculkan asumsi agar tidak diconangi keberadaannya oleh Arya Penangsang dan orang-orang Jipang. Sehingga keselamatan Ratu Kalinyamat senantiasa terjaga.

Dok. Araska Publisher
Dok. Araska Publisher

Asumsi lain bahwa berpindah-pindahnya tempat Ratu Kalinyamat di dalam melaksanakan tapa brata sekadar menggambarkan bahwa sepeninggal Pangeran Kalinyamat sesudah dianiaya oleh orang-orang Arya Penangsang amat menggoncangkan jiwanya. Sehingga di dalam menentukan tempat bertapa brata yang terakhir di Gunung Danaraja terlebih dahulu di Gelang Mantingan dan di Danarasa.

Sesudah berada di Gunung Danaraja, Ratu Kalinyamat melaksanakan tapa brata dengan telanjang dan sebagai penutup aurat hanya rambutnya yang panjang (tapa wuda asinjang rikma). Perihal tapa brata Ratu Kalinyamat yang dikisahgkan dalam Babad Tanah Jawa itu menimbulkan penafsiran pro kontra di kalangan para sejarawan

Bagi mereka yang pro bahwa tapa brata Ratu Kalinyamat sebagaimana digambarkan di dalam Babad Tanah Jawa merupakan kisah sebenarnya. Sementara bagi mereka yang kontra bahwa tapa brata Ratu Kalinyamat itu sekadar simbol. Mengingat naskah tersebut tidak murni sebagai karya sejarah, melainkan bercampur dengan dongeng.

Dok. Araska Publisher
Dok. Araska Publisher

Pendapat yang menyebutkan bahwa tapa brata Ratu Kalinyamat dengan cara telanjang dan menjadikan rambut panjangnya sebagai penutup aurat sekadar melukiskan bahwa keprihatinan hatinya sungguh tiada tara. Sehingga di dalam meminta keadilan Tuhan atas kematian Pangeran Hadiri di tangan Arya Penangsang dan anak buahnya sungguh tulus, total, dan tanpa mencampakkan harga diri. Pendapat ini berpijak pada pelukisan saat Ratu Kalinyamat bertapa brata tetap melindungi aurat dengan rambutnya yang melambangkan mahkota seorang wanita.

Berkat ketulusan dan totalitasnya, Ratu Kalinyamat yang mengalami keprihatinan (Gelang Mantingan) hingga menyentuh rasa untuk membela Pangeran Hadiri (Danarasa) berakhir mendapat pertolongan Adipati Hadiwijaya (Danaraja). Di mana Hadiwijaya yang merupakan saudara iparnya itu bersedia merealisakan sumpah Ratu Kalinyamat untuk membunuh Arya Penangsang. Demikianlah makna dari tiga tempat yang digunakan Ratu Kalinyamat untuk melaksanakan tapa brata.

Kebenaran teori bahwa tapa wuda asinjang rikma yang dilaksanakan Ratu Kalinyamat sekadar kisah fiktif. Teori ini dikuatkan oleh suatu pendapat bahwa Ratu Kalinyamat adalah seorang muslimah yang tidak lazim melakukan tapa brata dengan cara telanjang. Sebab itu, tapa brata Ratu Kalinyamat yang dikisahkan dalam Babad Tanah Jawa ditegaskan sebagai kiasan totalitasnya di dalam meminta keadilan Tuhan atas kematian Pangeran Hadiri. Namun, teori ini perlu mendapat analisa dan pendalaman lebih jauh. [Sri Wintala Achmad]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun