"Saur..., saur! Saur.., saur! Saur..., saur!"
Tidak sepeti hari-hari biasa. Pada setiap bulan ramadhan sebelum berkumandang adzan subuh selalu terdengar gugah-gugah (himbauan membangunkan orang-orang yang berpuasa) untuk bersantap sahur. Tradisi gugah-gugah itu bisa datang dari petugas di masjid atau sekelompok remaja yang berkeliling kampung sambil membunyikan kentongan.
Manakala mendengar gugah-gugah untuk bersantap sahur, seluruh umat Islam terbangun dari tidur. Merebus air, menanak nasi, menyaur, dan menggoreng lauk-pauk. Bagi keluarga mampu, sahur tidak lepas dengan buah-buahan semisal kurma, madu asli, telor ayam kampung, atau vitamin; agar dapat berpuasa dengan tubuh tetap sehat dan segar.
Bagi pelajar, mahasiswa, atau pengembara muslim yang tidak sempat memasak, bisa membeli menu sahur di warung makan. Mengingat setiap bulan ramadhan, banyak warung makan buka sejak jam 2 pagi hingga ambang imsya'. Sehingga, suasana sahur menjadi hingar bingar.
Kemeriahan Sahur Hendaklah Terkendali
Keseruan sahur yang diwarnai tradisi gugah-gugah pada umat Islam yang tengah berpuasa boleh-boleh saja. Akan tetapi, keseruan tersebut hendaklah terkendali. Artinya sewaktu gugah-gugah tetap menggunakan etika dan tidak terlalu menggangu umat beragama lain yang tidak berpuasa.
Sahur, Refleksi Kesadaran Pribadi
Tidak semua warga kampung memiliki kesamaan dalam menyikapi waktu sahur. Sebagian kampung menyikapi saat sahur dengan gugah-gugah. Namun, sebagian kampung lain (termasuk kampung di mana penulis tinggal) tidak terdengar gugah-gugah. Kenapa?
Dari jawaban seorang tokoh masjid itu, penulis mengetahui kenapa tidak ada tradisi gugah-gudah di kampung. Sekalipun tidak ada tradisi gugah-gugah, hampir semua penduduk kampung melakukan ibadah puasa. Bahkan tanpa adanya tradisi tersebut, suasana sahur menjadi lebih hikmat. Rasa syukur atas rezeki yang dilimpahkan Allah semakin menyentuh di dasar hati. [Sri Wintala Achmad]