Mohon tunggu...
Sri Wintala Achmad
Sri Wintala Achmad Mohon Tunggu... Penulis - Biografi Sri Wintala Achmad

SRI WINTALA ACHMAD menulis puisi, cerpen, novel, filsafat dan budaya Jawa, serta sejarah. Karya-karya sastranya dimuat di media masa lokal, nasional, Malaysia, dan Australia; serta diterbitkan dalam berbagai antologi di tingkat daerah dan nasional. Nama kesastrawannya dicatat dalam "Buku Pintar Sastra Indonesia", susunan Pamusuk Eneste (Penerbit Kompas, 2001) dan "Apa dan Siapa Penyair Indonesia" (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2017). Profil kesastrawanannya dicatat dalam buku: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017); Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018). Sebagai koordinator divisi sastra, Dewan Kesenian Cilacap periode 2017-2019.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

[Otobiografi 2] Penciptaan Novel Sejarah, dari Kelayapan hingga Aroma Kemenyan

18 April 2018   00:26 Diperbarui: 18 April 2018   14:46 1906
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"MENULIS itu gampang!" Demikian kalimat sakti yang selalu saya sugestikan pada diri saya agar dapat menulis karya sastra genre apapun -- puisi, cerpen, esai, dan novel. Bahkan kalimat sakti tersebut saya gunakan agar dapat menulis karya tulis yang tidak berhubungan dengan sastra, semisal karya tulis bertema sejarah, kearifan Jawa, budaya tradisi, cerita wayang, dan lainnya.

Kenapa kalimat sakti "Menulis itu gampang" terus saya sugestikan ke dalam diri saya? Mengingat kerja penciptaan, terutama karya sastra, sesungguhnya susah. Sebab itu, saya selalu melawannya dengan mengucapkan dalam hati kalimat "Menulis itu gampang". Sehingga karya sastra yang tengah saya garap bisa dirampungkan. Tidak berhenti di tengah jalan.

Dok. Pribadi.
Dok. Pribadi.
Bersama Iman Budhi Santosa (penyair), Dhanu Priyo Prabowo (pengamat sastra Jawa), dan Eko Nuryono (penyair). Dok. bersama.
Bersama Iman Budhi Santosa (penyair), Dhanu Priyo Prabowo (pengamat sastra Jawa), dan Eko Nuryono (penyair). Dok. bersama.
Mencipta karya sastra itu sesungguhnya susah, karena harus memenuhi standar kualitatif. Artinya, karya sastra yang diciptakan bukan sekadar hadir, namun harus mampu memaknai kehadirannya. Mencipta karya sastra bukan asal jadi, namun harus memerhatikan unsur bentuk dan isi.

Memikirkan estetik, makna implisit, serta kontribusi dalam memberikan inspirasi bagi pembaca. Hal ini merupakan tugas berat namun mulia yang selalu melecut saya untuk terus belajar mencipta karya sastra berstandar kualitatif. Sebagaimana pertama kali saya belajar mencipta karya sastra (puisi) yang dimulai pada tahun 1984.

Bersama Indra Tranggono (cerpenis dan pengamat budaya) dan R. Toto Sugiharto (novelis). Foto Abdul Azis Sukarno
Bersama Indra Tranggono (cerpenis dan pengamat budaya) dan R. Toto Sugiharto (novelis). Foto Abdul Azis Sukarno
Ketika belajar mencipta karya sastra yang saya awali dengan genre puisi ternyata banyak manfaatnya. Proses penciptaan puisi yang selalu menekankan pemilihan kata yang tepat dan menjaga efektivitas kalimat selalu saya gunakan dalam mencipta cerpen, novel, atau esai. Karenanya dalam penciptaan cerpen, novel, atau esai; saya tetap melakukan revisi sebagaimana saat mencipta puisi.

Sungguhpun terdapat kesamaan dalam proses penciptaan puisi, cerpen, novel, dan esai; namun tetap memiliki perbedaan. Dalam mencipta puisi, cerpen, dan novel; saya selalu menggunakan imajinasi, intuisi, dan sense terlebih dahulu sebelum menggunakan logika saat merevisi.

Sebaliknya dalam mencipta esai, saya menggunakan logika terlebih dahulu sebelum menggunakan intuisi, imajinasi, dan sense saat merevisi. Hal ini dimaksudkan agar esai tidak terkesan kering dan kaku sebagaimana karya ilmiah.

Dalam mencipta puisi, cerpen, dan novel, saya pun selalu menerapkan proses yang berbeda. Di dalam menulis puisi dan cerpen, saya jarang sekali melakukan riset. Namun dalam mencipta novel (fiksi) sejarah atau novel berlatar belakang sejarah, saya sering melakukan riset.

Selain mengunjungi tempat-tempat bersejarah (petilasan), saya membaca buku-buku, menganalisa, dan mereinterpretasi sejarah yang selama ini diyakini sebagai fakta oleh masyarakat awam. Tentu, perinterpretasian sejarah tersebut tidak saya lakukan sembarangan, melainkan melalui analisis panjang.

Bersama Rafael Priyono Mintodiharjo (cerpenis) dan Budi Sardjono (novelis). Foto Maria Widy Aryani.
Bersama Rafael Priyono Mintodiharjo (cerpenis) dan Budi Sardjono (novelis). Foto Maria Widy Aryani.
Dari pendapat di muka, kemudian muncul satu pertanyaan, "Kenapa menulis novel sejarah dengan melakukan reinterpretasi sejarah?" Jawabannya sederhana. Karena novel sejarah bukan teks sejarah, maka saya harus melakukan reinterpretasi terhadap sejarah yang bersumber dari berbagai teori para sejarawan. Hal ini yang membedakan proses penulisan buku sejarah dengan penciptaaan novel sejarah.     

Dari Riset hingga Reinterpretasi Sejarah

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun