"SASTRA Jawa mengalami sekarat."
Ungkapan di muka sering saya dengar sewaktu mengikuti diskusi dan saresehan sastra Jawa. Tetapi, benarkah sastra Jawa mengalami sekarat, paling tidak serupa kakek jompo yang berdiri di lubang kuburnya? Jika "benar", apa alasannya? Jika "tidak", apa dalihnya?
Kalau mencermati fakta bahwa sastra Jawa tidak mengalami perkembangan signifikan baik berhubungan dengan kuantitas kreator maupun media, maka penyataan "Sastra Jawa mengalami sekarat" bisa dibenarkan. Namun, sastra Jawa belum bisa disebut mati total. Mengingat terdapat beberapa kreator sastra Jawa yang masih mencipta (memublikasikan) karyanya di beberapa media berbahasa Jawa, seperti: Jayabaya, Penyebar Semangat, Sempulur, Pagagan, Swaratama, Jaka Lodang, dan Mekarsari.
Sungguhpun demikian, realitas kehidupan sastra Jawa yang berkelindan dengan nasibnya sangat memrihatinkan. Hal ini yang kemudian memunculkan gagasan untuk memecahkan persoalan tersebut. Agar persoalan tersebut dapat dipecahkan, perlu dicari terlebih dahulu akar penyebab yang sangat mendasar.
PermasalahanÂ
Menangkap realitas keterpurukan nasib sastra Jawa tidak cukup turut prihatin atau berbela sungkawa, namun harus berupaya mengentaskannya. Sebelum melakukan pengentasan, perlu dicari faktor permasalahan yang berkelindan dengan keterpurukan nasib sastra Jawa.
Bahasa, penulisan, kreator, dan honorarium
Tidak berkembangnya sastra Jawa dikarenakan mencipta karya sastra Jawa tidak semudah yang dibayangkan. Selain dituntut menguasai bahasa Jawa ngoko atau krama madya, calon kreator diharuskan dapat menulis karya dengan baik dan benar. Di samping itu, kreator juga harus memiliki keahlian dalam mencipta berbagai jenre karya, semisal: geguritan, cerita cerkak, ceriba sambung, atau novel.
Bagi calon kreator yang telah mampu mencipta karya dengan memenuhi standar kualitatif hingga mendapat predikat "Pernggurit", "Cerpenis Jawa", atau "Novelis Jawa" akan berpikir ulang di dalam mengembangkan proses kreatifnya. Â Mengingat honorarium dari hasil karya-karyanya yang dimuat di media massa tidak sesuai harapan.
Selain itu, banyak penerbit cenderung menolak terhadap naskah sastra Jawa yang kurang diminati publik. Fakta ini yang merupakan biang keladi terhadap ketidakberkembangnya kuantitas kreator dan sekaligus kuantitas (kualitas) karya sastra Jawa.