/1/
Hari masih jauh dari senja. Kopi belum habis kita reguk. Perbincangan masih panjang. Tentang seorang penyair yang suka memboroskan waktunya untuk melacak jejak hakikat puisi dalam sajak. Menyalurkan energi pada setiap lambang. Seperti Tuhan yang mengajarkan bagaimana meniupkan roh pada tanah, api, air, dan angin hingga terbentuklah citranya. Menjadikan puisinya sebagai prasasti yang bakal dikenang anak-anak zaman.
/2/
Jarum jam di tanganmu masih menuding angka tiga. Sebungkus sigaret belum habis terisap. Perbincangan masih perlu kita bentang. Tentang seorang aktor yang menjadikan panggung sebagai kanvas berbingkai. Manusia aneh yang selalu memberhalakan batinnya di balik pengap terali. Senasib burung ocehan yang harus mengicaukan kemerdekaan di dalam sangkar gadingnya. Dunia mungil yang dimaknainya sebagai langit tak bertepi.
/3/
Hari masih terang. Namun bukan sebagai penyair atau aktor, melainkan senasib puisi yang menanggalkan jubah kesajakan atau burung ocehan yang terlepas dari sangkar gadingnya, kau keburu pulang ke sarang senja. Di mana kau adalah cahaya yang kembali pada lampunya. Sebagaimana seorang pecinta yang memaguterat Kekasihnya. Bunga hati dari surga yang bermasa-masa dirindukan oleh orang-orang sufi dalam puisi dan tarian.
-Sri Wintala Achmad-
Catatan:
Puisi ini dipersembahkan kepada Niesby Sabakingkin. Sahabat dan redaktur Minggu Pagi yang telah singgah di alam keabadiannya.