''Kalau ada seorang yang menderita luka datang kepada seorang politikus, maka dipukullah luka itu, hingga orang yang punya luka itu akan berteriak kesakitan dan lari tunggang langgang. Sedangkan kalau ia datang pada seorang penyair, luka itu akan di elus-elusnya hingga ia merasa seolah-olah lukanya telah tiada. Sehingga tidak seorangpun dari kedua macam orang itu berusaha mengobati dan menyembuhkan luka itu...."
Bagi setiap pembaca sastra niscaya mengetahui tentang kutipan dari salah satu paragraf cerpen Godlob karya Danarto. Cerpen yang dicipta oleh Danarto di Leles, Garut, pada 13 Agustus 1967 tersebut sangat dikenal di lingkup dunia sastra Indonesia.
Diketahui bahwa Godlob digubah Danarto paska kemelut politik G-30-S PkI (1965). Sehingga wajar kalau cerpen tersebut melukiskan suasana medan perang, di mana banyak bangkai prajurit yang berserakan menjadi santapan sekawanan gagak. Burung-burung rakus yang pula menyerang prajurit muda masih hidup dengan luka-luka membusuk. Luka-luka yang mustahil diobati oleh politikus atau penyair.
Di dalam penciptaan karya sastra baik cerpen, novel, maupun naskah lakon; kepiawaian Danarto tidak disangsikan lagi. Karena konsistensinya di dalam berkarya, nama Danarto pantas dicatat dalam sejarah sastra Indonesia. Kontribusinya di belantika sastra Indonesia, nama Danarto yang mengawali proses kreatifnya di Yogyakarta bisa disejajarkan dengan Kuntowijoyo, WS Rendra, Linus Suryadi AG, dan lain-lain.
Selain berhelat di bidang sastra, Danarto pula berkecimpung di dunia seni rupa dan teater. Dalam seni rupa, Danarto pernah bergabung dengan Kelompok Sangggar Bambu asuhan Sunarto Pr. Dalam dunia teater, Danarto yang memiliki kepiawaian dalam seni rupa sering dipercaya sebagai penata artistik. Maka tidak salah kalau Dadang Christanto menyebut Danarto sebagai seniman serba bisa.
Sastra dan Esai
Karena berkarya dalam tiga genre sastra (cerpen, novel, naskah lakon); Danarto dikenal sebagai sastrawan. Selain berkarya di bidang sastra, Danarto banyak mencipta esai yang tersebar di berbagai media massa lokal dan nasional, semisal Kompas.
Beberapa karya cerpen Danarto yang telah terbit, yakni: Godlob (1975), Adam Ma'rifat (1982), Berhala(1987), Gergasi (1993), dan Setangkai Melati di Sayap Jibril (2008). Karya-karya novelnya, yakni: Asmaraloka(1999) dan Orang Jawa Naik Haji (1983). Naskah lakonnya bertajuk Bel Geduweh Beh(1976). Kumpulan esainya, yakni: Begitu ya Begitu tapi Mbok Jangan Begitu (1996) dan Cahaya Rasul 1-3 (1999-2000).
Berkat konsistensi dan loyalitasnya di dalam berkarya sastra, Danarto yang pernah meggelar Pameran Puisi Konkret tersebut layak mendapat penghargaan. Beberapa penghargaan yang diterimanya, antara lain:
- Cerpen "Rintik" mendapat Hadiah Horison (1968).
- Kumpulan cerpen Adam Ma'rifat memenangkan Hadiah Sastra Dewan Kesenian Jakarta  (1982).
- Kumpulan cerpen Berhala mendapat hadiah Yayasan Buku Utama Departemen P & K (1987).
- Mendapat Hadiah Sastra ASEAN (1988).
- Menerima Ahmad Bakrie Award untuk bidang kesusastraan (2009).
Seni Rupa dan Teater
Proses kreatif Danarto di bidang seni rupa diawali sejak tinggal di Yogyakarta. Ketika bergabung dengan Sanggar Bambu Yogyakarta, Danarto belajar seni rupa kepada Sunarto Pr. Seorang perupa yang namanya sampai sekarang masih sering disebut-sebut publik seni rupa.