BANYAK seni tradisi sekarat karena orientasi hiburan publik mulai bergeser pada seni modern yang merupakan hasil impor dari Barat. Suatu seni yang lebih berperan sebagai media tontonan (rekreasi), dan bukan sebagai tuntunan (edukatsi) yang terikat dengan tatanan (pakem).
Bergesernya selera publik dari seni tradisi ke seni modern dikarenakan publik tidak mau diangap sekelompok manusia kolot, terbelakang, dan kampungan. Karenanya mereka sangat alergi bila menyaksikan srandul, emprak, ketoprak, wayang, dadungawuk, impying, angguk, tayub, atau jatilan. Sebaliknya mereka merasa kelas sosialnya naik ketika menyaksikan film berlabel Barat, konser musik klasik, jazz, dll.
Melihat pergeseran selera publik, banyak seniman melakukan eksplorasi dan eksperimen kreatif dengan memberi sentuhan-sentuhan garapan baru bernuansa modern pada seni tradisi yang masih bertahan hidup, semisal: wayang kulit, ketoprak, dan khususnya jatilan. Suatu seni yang dikenal jaranan (Tulungagung), Turangga Yaksa (Ponorogo), atau ebek (Banyumas dan Cilacap). Sementara, jatilan sendiri merupakan seni kudalumping yang dikenal di Yogyakarta.
Bila mewacanakan seni jatilan niscaya menyinggung sumber cerita dan sejarahnya, perkembangan dari gagrak lawas (klasik) menuju gagrak anyar (kreasi baru). Di samping itu, pewacanaan melebar pada koreografi, penari serta tata kostum dan riasnya, alat musik dan komposisi musik, serta tembang (lagu) yang selalu dilantunkan wiraswara atau sinden dalam seni jatilan.
Sumber Cerita dan Sejarah
LAHIRNYA seni jatilan klasik di Yogyakarta tidak bisa dilepaskan dengan sejarah Janggala dan Kadiri, dua kerajaan pecahan Kahuripan. Secara khusus, seni jatihan berkaitan dengan kisah Panji Asmara Bangun dan Dewi Candrakirana. Namun ketika seni jatilan digelar, kedua tokoh tersebut tidak pernah dimunculkan.
![Sumber: pantaibaru.files.wordpress.com](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/04/09/100-1119-1-5aca55f4caf7db4e41414af2.jpg?t=o&v=770)
Seni jatilan klasik pula menampilkan tokoh Barongan (raksasa bertopeng merah), peri (hantu perempuan bertopeng putih), dan Leong (singa) yang diperagakan dua orang pemain. Tokoh-tokoh ini muncul ketika para prajurit yang berlatih perang akan mengalami trance.
Pada waktu trance, sebagian penari melakukan atraksi magis, seperti: mengunyah beling, menginjak-injak bara api, mengupas kulit kelapa dengan gigi, atau meminum air kembang. Atraksi-atraksi ini dilakukan untuk menarik perhatian penonton agar bersedia menyaksikan pertunjukan sampai paripurna.
Perkembangan dari Klasik ke Garapan
AWAL mula seni jatilan klasik digelar dengan sangat ugahari. Seluruh penari menggunakan kostum dan rias yang sederhana. Koreografinya pun sangat sederhana. Alat musik yang digunakan untuk mengiringi gerak penari hanya terdiri: kendang, dua bende, kecrek, dan angklung.