WAKTU merayap. Para sesepuh desa Wanatawang itu berpamitan pada Jayengresmi, Niken Turida, dan Kinanthi untuk pulang ke rumah masing-masing. Selepas para sesepuh dari pendapa itu, Jayengresmi kembali duduk bersila di tempatnya semula. Menyapukan pandangan lembut ke seluruh wajah siswanya. "Para siswa. Aku meminta pada kalian untuk tetap berjaga di ruangan pendapa ini! Karena malam ini, aku dan kalian akan mendengar cerita dari Kinanthi tentang apa yang diperoleh selama melakukan tapa di sendang Klampeyan."
"Ayah...." Kinanthi bertanya pada Jayengresmi dengan penuh santun. "Apakah hasil dari laku tapa seseorang pantas diceritakan pada sesamanya? Apakah hal itu tidak tabu?"
"Tidak, anakku. Selama kamu tidak menambahi dan mengurangi atas apa yang kamu peroleh selama menempuh laku tapa itu. Bukankah berbagi sesuatu yang bermaslahat dengan sesamanya adalah tindakan mulia?"
"Baiklah, Ayah." Kinanthi menarik napas panjang sebelum dihembuskannya kuat-kuat. "Seluruh siswa padepokan Wanatawang yang budiman. Tiada yang pantas aku ceritakan pada kalian selain pesan sukma Syeh Amongraga yang tertangkap jaring indera ke enamku. Beliau berpesan, agar aku selalu menyampaikan kandungan kitab yang pernah ditulisnya pada orang-orang di sekitar hidupku. Apakah kalian bersedia mendengarnya hingga tuntas?"
"Sanggup." Seluruh siswa menjawab dengan serempak. "Kisahkan segera, Kinanthi! Kami akan menyimaknya."
Kinanthi beranjak dari ruangan pendapa. Memasuki ruang pribadinya untuk mengambil kitab yang ditulis Syeh Amongraga pada beberapa tahun silam. Sekembali di hadapan seluruh siswa, Jayengresmi, dan Niken Turida; ia membuka halaman pertama kitab tentang Prahara di Kasunanan Giri.
***
ORANG-ORANG Mataram bernapas lega, manakala pageblug yang menewaskan ribuan jiwa itu telah lenyap serupa debu tersapu angin kencang. Mereka menangkap langit Mataram di masa pemerintahan Sultan Agung Ing Ngalaga Senapati Abdurahman itu mulai memercikkan cahaya dari celah arakan awan.
Di pagelaran agung Mataram, Sultan Agung yang duduk di dampar kencana itu diapit dua permaisurinya -- Ratu Wetan dan Ratu Kilen. Dihadap seluruh punggawa -- Patih Singaranu, Tumenggung Alap Alap, dan Ki Juru Kiting. Dihadap kedua putranya -- Pangeran Pekik dan Ratu Pandansari.
"Kakang Singaranu...." Sultan Agung mengawali sabda. "Kita ketahui bahwa Mataram telah dapat menaklukkan Madura, Surabaya, Wirasaba, Lasem, Pasuruhan, dan daerah-daerah kecil lainnya. Kita telah dapat mengatasi pemberontakan para ulama Tembayat serta orang-orang Sumedang dan Ukur. Bahkan, kita telah mampu mengatasi pemberontakan Giri Kedaton."
"Benar, Paduka." Patih Singaranu menegaskan kebenaran sabda Sultan Agung. "Kemudian rencana apa yang hendak Paduka sabdakan pada hamba dan seluruh punggawa di pagelaran ini?"