LANGIT Pajajaran gelap gulita. Prabu Banyak Blabur berduka. Wabah penyakit yang melanda di negerinya tidak kunjung reda.
Setiap hari, Prabu Banyak Blabur tidak merasakan lezatnya makanan. Setiap malam, ia tidak dapat memejamkan mata. Pikirannya tercurah pada wabah penyakit yang menjangkit ke tubuh rakyat dan putrinya. Namun berkat doanya, ia mendapat petunjuk Tuhan melalui seorang ahli nujum, Ki Charak.
"Ampun, Paduka." Ki Charak menghaturkan sembah. "Menurut hamba, wabah penyakit hanya dapat dibasmi dengan air mata kuda sembrani."
"Aneh!" Prabu Banyak Blabur sejenak berpikir. "Apakah di dunia ini, ada air mata kuda sembrani?"
"Ada, Paduka. Ratu Sri Wulan. Putri mendiang Prabu Pulebahas dari Nusatembini itu yang memilikinya."
"Kita harus mendapatkan air mata kuda sembrani itu."
"Harus, Paduka. Kalau Paduka tidak ingin melihat kesengsaraan rakyat Pajajaran. Tidak ingin menyaksikan penderitaan putri Paduka."
Prabu Banyak Blabur mengerling Tilandanu. "Patih...."
"Hamba, Paduka."
"Tak seorang pun yang aku percaya untuk mendapatkan air mata kuda sembrani selain dirimu. Karena Nusatembini bukan sembarang kerajaan, perjalananmu ke sana tidak seorang diri. Rayi Adipati Gobog, Rayi Adipati Sendang, dan seribu prajurit berkuda aku perbantukan padamu. Aku pun akan membekalimu sekantong kepeng emas."
"Terima kasih. Mengingat rakyat dan putri Paduka harus segera mendapat pertolongan, hamba mohon pamit. Melaksanakan tugas yang Paduka sampirkan ke pundak hamba."