Kakawin Niratha Prakretha yang ditulis dengan menggunakan bahasa Jawa kuna dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Poerbatjaraka itu bukan hanya menarik ketika dibaca dari awal hingga akhir, namun pula bisa memberikan pengetahuan yang bermanfaat. Terutama dalam persoalan ilmu kearifan hidup.
***
MPU Prapanca (Dang Acarya Nadendra), salah seorang pujangga yang hidup di era pemerintahan Hayam Wuruk (Maharaja Sri Rajasanagara), raja Majapahit yang berkuasa dari tahun 1350 hingga 1389 Masehi. Selain menggubah Kakawin Nagarakretagama, Mpu Prapanca menggubah Kakawin Niratha Prakretha. Naskah sastra Jawa kuna yang terdiri dari 13 zang(pupuh).
Kalau diperhatikan dengan seksama, bahwa Kakawin Niratha Prakretha yang ditulis dengan menggunakan bahasa Jawa kuna dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Poerbatjaraka itu bukan hanya menarik ketika dibaca dari awal hingga akhir, namun pula bisa memberikan pengetahuan yang bermanfaat. Terutama dalam persoalan ilmu kearifan hidup.
Berdasarkan tilikan yang cermat, bahwa Kakawin Niratha Prakretha mengandung ajaran kearifan hidup, di antaranya: pertama, manusia harus memiliki kepandaian, budi luhur, dan kesabaran. Dengan kepandaian, manusia akan bisa mengatasi segala marabahaya. Dengan kesabaran, manusia akan memperoleh petunjuk dari Tuhan. Petunjuk yang berguna ketika manusia terjerat dengan berbagai persoalan. Â
Kedua, manusia yang dianggap kaya jika senantiasa memberi derma kepada sesamanya. Artinya, manusia harus menjadi sumber yang selalu mengalirkan air menuju sawah, ladang, dan merembes  ke sumur-sumur. Sumber yang tidak pernah kering sekalipun setiap hari memberikan penghidupan kepada setiap makhluk Tuhan. Â
Ketiga, manusia harus menggunakan kearifan supaya tidak terjerumus ke dalam jurang kesengsaraan. Dalam hal ini, pujangga Raden Ngabehi Ranggawarsita III telah memberikan peringatan melalui Serat Kalatidha yakni agar manusia selalu waspada ketika menghadapi zaman gemblung. Dengan kewaspadaan, manusia bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Mana yang khak dan mana yang batil.
Keempat, manusia harus memahami panca inderanya kalau ingin mengetahui suksmanya. Artinya kalau manusia ingin mengetahui warna hitam atau putih suksmanya, harus mengetahui apa yang dilakukan oleh panca inderanya. Kalau panca inderanya digunakan untuk perbuatan jahat, maka suksmanya turut berbuat jahat. Kalau panca inderanya digunakan untuk perbuatan baik, suksmanya pula turut baik. Â Â Â Â
Kelima, manusia harus melaksanakan laku batin supaya dapat menyimak sifat angkara-murkanya. Sebagian sarjana yang telah menguasai persoalan  ilmu kesehatan tubuh memberikan pendapat bahwa laku batin seperti sembahyang, dzikir, meditasi, perihatin, dan lain-lainnya bisa mengobati berbagai penyakit. Bukan sekadar penyakit seperti asam lambung (maag), namun juga liver, jantung, stroke, dan sebagainya. Â
Keenam, manusia harus bisa menenangkan rasa dan pikiran agar mendapatkan kebahagiaan. Hal ini mengingatkan kepada setiap manusia, bahwa rasa dan pikiran yang kacau ketika sedang mendapatkan cobaan dari Tuhan dapat menimbulkan kecelakaan yang lebih besar. Karenanya rasa dan pikiran harus selalu ditenangkan supaya memperolah kebahagiaan yang menyebabkan kesehatan jiwa dan raga. Selain itu, manusia yang bisa menenangkan rasa dan pikiran akan mampu meredam keakuannya (sifat egois), serta dapat merangkul 'Ingsun'-nya (Tuhan yang beristana di dalam kalbu).
Ketujuh, manusia yang memiliki jiwa sentosa akan dapat menyatu dengan Tuhannya. Ajaran ini selaras dengan laku hidupnya Bima ketika akan mencari tirta perwitasari. Sekalipun menghadapi rintangan besar dari saudara Bayu, Pandawa, dan naga Amburnawa; namun Bima yang memiliki jiwa sentosa itu tetap akan mencari tirta perwitasari di dasar samudra. Dengan jiwa yang sentosa, Bima bisa menyatu dengan Tuhannya. Sang Hyang Bhatara Ruci yang beristana di dalam alam kalbunya. Â Â Â Â Â Â