MAK Karni menghembuskan napas terakhir. Basu melelehkan air mata. Pipi Basu kian basah saat jenazah Mak Karni diturunkan ke liang lahat. Dalam batin, Basu berdoa. Semoga arwah emaknya diterima Tuhan. Raja Semesta yang dapat menangkap makna di balik runduk daun-daun kamboja. Hening tak tergemerisikkan tiupan angin.
Serupa layang-layang terputus benangnya, Basu meninggalkan makam. Meninggalkan gundukan tanah basah beraroma bunga tujuh rupa, rumah terakhir Mak Karni. Sepanjang perjalanan pulang, wajah emaknya masih menggantung di pelupuk mata. Wajah yang mengingatkan paras Kunti. Tokoh ibu berjiwa karang yang tangguh saat menghadapi gempuran gelombang dan badai waktu.
Di salah satu kursi kayu di ruangan pendapa, Basu memandang potret Mak Karni yang melekat di dinding kayu coklat tua. Sewaktu pikirannya hanyut pada masa-masa indah bersama emaknya sebelum menetap di Jakarta, datanglah Surti. Istri Basu yang memberikan tiga anak dari hasil perkawinan. Elang yang cerdas matematika. Lungit yang pintar menari. Galang yang pintar berolah sastra.
"Kapan kita pulang ke Jakarta, Bang?" Surti meletakkan pantatnya di kursi samping Basu. "Sudah tak betah aku tinggal di Desa Wukirsari yang jauh dari kota. Jauh dari mall, supermarket, dan kafe."
"Bersabarlah, Dik!" Basu kembali memandang foto Mak Karni yang serasa mencegahnya agar tidak cepat pulang. "Sepekan lagi, kita pulang."
"Tidak." Surti yang menjadi orang kaya baru sesudah terpilih sebagai anggota DPR itu berkata lantang. "Tidak! Kita harus pulang ke Jakarta."
"Pulanglah bila kau tak betah tinggal di desa!" Basu menarik napas panjang untuk melonggarkan dadanya yang serasa tersumbat batu. "Sepekan lagi, aku baru pulang ke Jakarta."
Surti beranjak dari kursi dengan wajah masam. Mengemasi barang-barangnya. Memasukkan barang-barang itu ke bagasi mobil. Tanpa berpamitan pada Basu, Surti yang disertai Elang, Lungit, dan Galang meninggalkan halaman rumah mendiang Mak Karni. Meninggalkan Wukirsari. Pulang ke Jakarta. Menyaksikan tingkah istrinya yang mulai banyak berubah sesudah menduduki kursi wakil rakyat itu, Basu hanya menghela napas panjang.
***
Malam demi malam, rumah Mak Karni disejukkan dengan suara tahlilan para sesepuh desa. Tidak ketinggalan pula Basu yang selalu ada di antara para sesepuh itu untuk mendoakan agar emaknya dapat masuk surga. Bukan penghuni alam arwah yang bergentayangan hingga suka merasuki para peserta Uji Nyali. Acara yang dulu sempat nge-trend di salah satu stasiun televisi swasta negeri ini.
Seusai tahlilan terakhir pada malam ketujuh, Basu duduk lesehan di atas tikar mendong di sudut ruang pendapa. Kepada Wak Karta, pengganti ayahnya yang meninggal tiga tahun silam, Basu membuka pembicaraan, "Betapa sulit aku melupakan Emak. Namun sebagai guru yang harus mengajar anak didik, terpaksa aku harus pulang ke Jakarta esok pagi, Wak."