"Kalau kau sulit melupakan emakmu, bawalah tikar mendong anyaman terakhirnya." Wak Karta menghembuskan asap rokok kreteknya hingga mengepul di ruangan pendapa. "Dengan tikar itu, kau akan selalu ingat pada emakmu. Dengan tikar itu, kau akan memetik pelajaran. Menjadi manusia yang harus mampu menampung segala keluh-kesah dan canda-tawa. Tegas saat menghadapi orang-orang yang akan memperosokkanmu ke dalam laku kejahatan. Tegar atas segala godaan dan cobaan hidup."
"Pesan Wak Karta akan aku ingat selalu." Basu memandang potret Mak Karni di dinding kayu yang serasa menyetujui perintah waknya untuk membawa tikar mendong anyaman terakhir emaknya. "Oh ya, Wak. Di mana tikar mendong anyaman terakhir Emak?"
"Sudah aku persiapkan. Besok pagi, bisa kau bawa ke Jakarta."
Basu yang sontak rindu pada anak-anaknya setengah tak mendengar kata-kata Wak Karta. Seusai Wak Karta meninggalkan ruangan pendapa, Basu menuju kamar tidur mendiang emaknya. Menejelang tengah malam, Basu terbawa ke alam mimpi paling indah. Bercengkerama dengan emaknya di taman yang bermandikan tujuh warna cahaya lampu.
***
Setiba di rumahnya di bilangan Kota Jakarta, Basu tak mendapati istrinya. Menurut Elang, Surti tengah melakukan studi banding ke luar negeri beserta beberapa anggota wakil rakyat lainnya. Tanpa berpikir jauh, Basu memasuki kamar tidurnya. Mengganti sprei yang melapisi kasur busa harga jutaan rupiah itu dengan tikar mendong anyaman terakhir Mak Karni. Karena lelah, Basu merebahkan tubuhnya di ranjang. Terasa dalam dekapan hangat emaknya.
Pagi berikutnya. Basu kembali mengajar di salah satu sekolah favorit di Jakarta. Selepas siang, Basu pulang ke rumah dengan mobil bututnya. Sesudah memasukkan mobilnya ke garasi, Basu serasa disambar petir musim kemarau. Saat menyaksikan Surti yang baru saja pulang dari luar negeri itu tengah membakar tikar anyaman Mak Karni di halaman.
"Kenapa kau bakar tikar anyaman Emak, Dik?"
"Sejarah tikar telah berakhir, Bang. Kalau kau tetap setia dengan kemiskinanmu, pulanglah ke desa! Kita bercerai!"
Hati Basu serasa disayat-sayat silet. Tidak ada yang dilakukan Basu, selain membungkus abu tikar mendong itu dengan kain mori. Menguburkannya dengan upacara sederhana di sudut kanan depan rumahnya. Sekejap seusai penguburan abu tikar mendong itu, Basu mendengar sayup-sampai tangisan emaknya dari surga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H