"Syukurlah, Nduk. Tuhan mengabulkan doa kita!" Wajah Darsini menyemburat jingga. "Oh, ya. Kalau boleh tahu siapakah Tuan Dicco itu?"
"Yang aku tahu, Tuan Dicco adalah orang terkaya yang belum lama tinggal di perumahan elite itu," jawab Sukarti dengan wajah berbunga-bunga. "Karenanya, Mak. Mulai besok pagi, Mak tak perlu bekerja lagi sebagai kuli gendong di pasar. Biarlah aku sendiri yang harus banting tulang."
Mendengar penuturan Sukarti, Darsini merasakan kebahagiaan mengalir bersama darah di sekujur tubuhnya. Sungguh! Pada malam itu, Darsini sangat bangga atas perjuangan anaknya. Perjuangan panjang yang sebentar lagi akan membawa hasil gemilang.
***
Pagi yang cerah. Sukarti mengayunkan langkah kaki menuju rumah Tuan Dicco. Setiba di tujuan, Tuan Dicco memberikan seragam kerja pada Sukarti. Sesudah memasukkan kotak-kotak kardus yang diambil dari gudang bawah tanah rumah Tuan Dicco ke dalam mobil boks, Sukarti memasuki mobil itu. Duduk di jok depan di samping sopir. Perlahan-lahan, mobil itu meninggalkan halaman rumah Tuan Dicco. Merayap di jalan raya yang padat.
Baru saja melintasi batas kota, mobil boks yang ditumpangi Sukarti itu dihadang tiga mobil patroli. Sebagaimana Sukarti, sopir mobil boks itu tersentak. Manakala duabelas polisi yang keluar serempak dari ketiga mobil patroli itu menodongkan moncong senapan ke arah wajahnya.
"Keluar!" Salah seorang polisi bertubuh kekar memerintah Sukarti dan sopir untuk keluar dari mobil boks. "Angkat tangan!"
Sesudah mendapatkan kontaknya, polisi lainnya membuka pintu belakang mobil boks. Beserta enam polisi, polisi itu mengeluarkan seluruh kotak kardus dari mobil boks. Memeriksa isinya. Tak hanya sopir itu, Sukarti pun terkejut. Manakala mengetahui bahwa salah satu kotak kardus itu berisi sabu. Di mata Sukarti, langit cerah siang itu sontak kelam. Langit serasa akan runtuh. Menguburkannya hidup-hidup.
***
Di dalam sel penjara yang pengap, Sukarti tak dapat tidur nyenyak tak dapat makan enak. Terlebih ketika pengadilan negara menjatuhkan hukuman mati kepada Sukarti. Perempuan lugu yang terperosok ke dasar jurang petaka, demi membahagiakan Darsini. Emak tercintanya yang tak pernah merasakan kebahagian sepanjang hidupnya.
Sehari menjelang eksekusi mati, Sukarti beserta sang sopir dipindahkan dari lapas pinggiran kota ke lapas Pulau Keramat. Di pulau itu, tak ada yang diminta Sukarti pada pengadil negara, selain bertemu dengan Darsini. Namun, permintaan itu tak dikabulkan. Lantaran Darsini telah bunuh diri, sesudah mengetahui lewat berita televisi bahwa Sukarti akan dieksekusi mati.