Mohon tunggu...
Sri Wintala Achmad
Sri Wintala Achmad Mohon Tunggu... Penulis - Biografi Sri Wintala Achmad

SRI WINTALA ACHMAD menulis puisi, cerpen, novel, filsafat dan budaya Jawa, serta sejarah. Karya-karya sastranya dimuat di media masa lokal, nasional, Malaysia, dan Australia; serta diterbitkan dalam berbagai antologi di tingkat daerah dan nasional. Nama kesastrawannya dicatat dalam "Buku Pintar Sastra Indonesia", susunan Pamusuk Eneste (Penerbit Kompas, 2001) dan "Apa dan Siapa Penyair Indonesia" (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2017). Profil kesastrawanannya dicatat dalam buku: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017); Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018). Sebagai koordinator divisi sastra, Dewan Kesenian Cilacap periode 2017-2019.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Petuah KGPAA Mangkunegara IV dalam Serat Wedhatama

26 Februari 2018   21:36 Diperbarui: 27 Februari 2018   01:08 1419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gamaprabowo - WordPress.com

KGPAA Mangkunegara IV yang bernama kecil RM Sudira merupakan raja Praja Mangkunegaran (1853-1881). Selama berkuasa, beliau memerhatikan kesusastraan Jawa. Beliau dengan suka-cita menggubah karya Serat Wedhatama.

Kalau diperhatikan dengan seksama, Serat Wedhatama bukan sekadar menggugah rasa bahagia ketika dilantunkan, namun pula mengandung makna yang bermanfaat. Karena pula mengandung ajaran luhur yang berkaitan dengan kewajiban menuntut ilmu, maka Serat Wedhatama layak dikaji sehingga menjadi sarana untuk membangun sikap arif kita di dalam menjalani kehidupan yang masih panjang.

Melalui Serat Wedhatama, Mangkunegara IV memberikan ajaran luhur kepada kita agar suka menuntut ilmu. Karena ilmu bisa menjadi bekal di dalam kehidupan. Menjadi senjata ketika kita menghadapi marabahaya di tengah jalan. Mengangkat derajad kita. Memberikan ketentraman pikir dan rasa kita. Menjadi sarana kita untuk mengetahui jatidiri serta kewajiban kita untuk manunggal dengan kehendak Tuhan.

Ilmu sebagai bekal kehidupan. Tanpa ilmu, kita tidak akan mengetahui kiblat -- mana timur, selatan, barat, atau utara. Sehingga kita yang akan tersesat di hutan belantara dengan diselimuti kabut tebal itu tidak akan sampai pada tujuan. Akibatnya, kita tidak bisa membedakan mana yang rotan, mana yang akar. Mana yang sejati, mana yang palsu.

Ilmu menjadi senjata di dalam hidup. Pendapat ini berdasarkan dongeng Kancil. Sekalipun Kancil adalah hewan kecil di hutan belantara, namun memiliki ilmu yang mumpuni. Berkat ilmunya, Kancil selalu terbebas dari marabahaya yang dihadapi. Selamat dari kurungan yang dibuat Pak Tani. Terlepas dari mulut buaya.

Ilmu bisa mengangkat derajad manusia. Di dalam jagad pakeliran Jawa, pendapat ini berkaitan dengan riwayat hidup Dewi Sukesi. Semula, Sukesi berwujud raksasa. Sesudah mendapat ilmu Sastra Jendra Pangruwating Diyu dari Resi Wisrawa, Sukesi berubah wujud menjadi putri beparas rupawan serupa bidadari kahyangan yang turun di dunia. Dengan demikian, bila kita memiliki ilmu, maka derajad kita terangkat. Sekalipun dari kalangan sudra, namun bila kita berilmu, akan berpeluang menjadi pimpinan negara, menteri, atau insinyur.

Ilmu dapat menentramkan pikir dan rasa. Bila berilmu, kita akan memiliki pikiran yang tenang dan tentram, sehingga mampu menyelesaikan segara masalah. Dengan pikiran dan rasa tenang dan tentram, kita bisa memfokuskan perhatian. Hasilnya, segala maksud dan tujuan kita dapat terealisasi. Tugas dan kewajiban pun dapat kita selesaikan dengan hasil optimal.

Ilmu menjadi sarana untuk memahami jati diri. Ilmu yang berguna untuk memahami jati diri bukan sembarang ilmu. Bukan ilmu kesaktian yang kegunaannya sekadar mengebalkan tubuh kita dari senjata tajam. Namun ilmu yang dapat menajamkan pikiran dan rasa kita. Sehingga dengan ilmu, kita dapat memahami jatidiri, asal-muasal, serta tujuan hidup yang dikehendaki Tuhan. Kalau bisa mengamalkan ilmu, kita pun akan dianggap sebagai manusia yang sempurna.   

Melalui Serat Wedhatama, Mangkunegara IV mengingatkan kepada kita, kalau ingin mencari ilmu tidak harus kepada orang tua atau kaya. Namun, kepada empunya ilmu yang akan kita capai. Semisal ingin mencari ilmu filsafat, kita harus berguru kepada filsuf. Ingin mencari ilmu agama, kita harus berguru kepada rohaniwan. Ingin mencari ilmu matematika, kita harus berguru kepada guru (ahli) matematika.

Apa yang telah diajarkan Mangkunegara IV melalui Serat Wedhatama tersebut diharapkan menjadi bekal hidup kita di dalam merealisasikan cita-cita, mewujudkan hidup yang tentram, serta memahami jatidiri. Kalau ketiga tujuan utama tersebut bisa diraih, maka kita akan menjadi mustikaning manungsa yang dicintai oleh sesama. Demikian pula, oleh Tuhan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun