SEBELUM menggunakan nama asli Budi Sardjono, sastrawan yang terbilang produktif dalam menulis cerita anak, cerpen, novelet, novel, dan esai tersebut semula dikenal dengan nama samaran Agnes Yani Sardjono. Nama yang mengesankan kepada publik sastra bahwa penulis tersebut berkelamin perempuan.
Karena tidak lahir dari keluarga sastrawan, Budi Sardjono tertarik menulis bukan karena dorongan ayahnya yang bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), melainkan dari panggilan nuraninya. Ketertarikan untuk menulis karya sastra tersebut muncul, ketika puisinya yang dimuat di Majalah Dian (Flores) mendapatkan honorarium.
Honor Besar Disertai Proses Kreatif yang Benar
DENGAN menulis novel, Budi Sardjono merasa memiliki arti dan sumbangsih pada dunia sastra. Merasa bisa menghibur secara kreatif kepada ribuan orang yang pernah membaca karya-karyanya. Berdasarkan pendapat tersebut, menulis novel bagi Budi Sardjono merupakan pekerjaan yang sangat menarik. Karena selain beberapa alasan di muka, Budi Sardjono dapat mencipta dunia tersendiri. Membuat sesuatu yang tidak ada menjadi ada. Memelajari berbagai macam karakter manusia, mencipta tokoh-tokoh, membangun konflik antar tokoh, dan merangkai kata menjadi kalimat.
Sebagai novelis, Budi Sardjono tidak hanya menulis novel bertema umum, namun pula bertema sejarah. Dalam dunia sastra, novel bertema sejarah sering disebut fiksi sejarah. Dalam menulis novel sejarah, Budi Sardjono cenderung memilih tema mitos yang sudah dianggap sejarah oleh publik, semisal: mitos Nyai Lara Kidul (novel Sang  Nyai) atau Roro Jonggrang (novel Roro Jonggrang). Agar novel sejarah menjadi menarik, Budi Sardjono bukan sekadar meng-copy paste sejarah (mitos) yang ada, melainkan mengembangkannya secara liar, sehingga mampu menghipnotis pembaca.
Dijelaskan lebih lanjut oleh Budi Sardjono bahwa menulis novel sejarah selalu mengembangkan (mengreasikan) lagi sejarah liar terhadap fakta sejarah. Mengingat novel sejarah identik dengan fiksi sejarah, maka imajinasi sangat dominan dalam penulisan. Jika penulis terjebak ke dalam fakta sejarah dan tidak berani mengolahnya, maka novel sejarah hanya kepanjangan tangan sejarawan.
Dari Pengalaman Mistik hingga Mendebarkan