SEBAGAIMANA diungkap dalam wacana Kritik Sastra Feminis, elemen estetika karya sastra yang dilahirkan perempuan pengarang memiliki kecenderungan berbeda dengan laki-laki. Perbedaan itu dapat ditelusuri jejaknya melalui berbagai genre karya sastra yang dihasilkannya. Dalam sejarah sastra Indonesia modern, keberadaan perempuan pengarang memang masih sedikit jumlahnya dibanding laki-laki. Karenanya, perjuangan seorang perempuan untuk memilih dan tetap konsisten di bidang profesi penulisan karya sastra layak mendapat apresiasi dan acungan jempol. Salah satu di antara perempuan pengarang Indonesia kontemporer dan tinggal di Yogyakarta ialah Abidah El Khalieqy.
Sebagai perempuan pengarang (penyair dan novelis), Abidah telah mengikuti berbagai event sastra tingkat nasional, regional maupun internasional. Karya-karya kesusastraannya menjadi kajian dan penelitian ilmiah, khususnya dalam penulisan skripsi, tesis, dan disertasi di berbagai perguruan tinggi di Indonesia dan mancanegara.
Karya-karyanya memiliki karakter kuat yang mengekspresikan perjuangan kaum muslimah Indonesia modern dalam upaya membebaskan diri dari belenggu tradisi dan praktik-praktik keagamaan yang kurang ramah terhadap perempuan. Karena itu, banyak kritikus dan pengamat sastra yang menilai bahwa karya-karya Abidah memiliki unsur tematik yang unik dan berkaitan langsung dengan upaya-upaya untuk memerjuangkan harkat, martabat, dan derajat kaum perempuan.
Dalam dinamika kesusastraan di Indonesia, popularitas dan prestasi Abidah tidak diragukan lagi. Meski dalam salah satu situs internet, ia pernah dicap (dirumorkan) sebagai "Salah Satu dari 9 Orang Gila" dari Jombang (Abdurrahman Wahid, Emha Ainun Nadjib, Abu Bakar Ba'asyir, Salman Hafiz, Nur Cholis Majid, Asmuni, Riyan, Ponari, Abidah El Khaliegy, ed); karena totalitasnya dalam berkarya tidak kunjung reda. Karya-karya kesusastraannya, terutama novel, diterbitkan oleh beberapa penerbit mayor Indonesia dan luar negeri.
Novelnya yang bertajuk Perempuan Berkalung Sorban, Menebus Impian, Mimpi Anak Pulau,dan Kartini, telah dialihkan ke dalam bentuk film layar lebar. Novel Mimpi Anak Pulau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Novel Nirzona gubahannya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris telah beredar di Amerika, Italia, Inggris, Australia, Jerman, Perancis, dan Asia. Menurut penuturannya, novel Nirzona yang diterbitkan Amazon Publishing (Seattle, USA) merupakan karya sastra dari Indonesia yang pertama kali dicetak dan distribusikan oleh penerbit mayor di tingkat dunia.
Menulis dua jam sehari
Bila dibandingkan dengan genre sastra yang lain semisal puisi dan cerpen, novel lebih banyak dibaca publik. Sebagai novelis, Abidah membenarkan pendapat tersebut. Ia menyatakan, bahwa novel memiliki pembaca yang sangat luas, mampu menembus segala lapisan masyarakat pembaca sastra, dari remaja sampai ibu-ibu rumah tangga, dari kaum sekolahan sampai orang biasa. Bahkan orang iseng pun lebih memilih membaca novel daripada puisi.
Selain pengaruh keluarga dan pendidikan, novel-novel Abidah dipengaruhi pengalaman-pengalamannya ketika terlibat dalam berbagai kegiatan seminar, diskusi, atau workshop yang dilaksanakan para aktivis dan lembaga perempuan (80-90). Berpijak pada pengalaman-pengalaman tersebut, Sahro Hr. Lock (pengajar Indonesia pada Komunitas Muslim Virginia, USA) mengungkapkan, "Novel-novel Abidah memiliki karakter yang kuat untuk mewakili perjuangan kaum muslimah Indonesia modern yang masih terbelenggu oleh tradisi budaya dan praktik-praktik keagamaan yang kurang ramah terhadap eksistensi perempuan."
Proses kreatif dalam penciptaan novel tidak dapat dilepaskan dengan membaca novel karangan orang lain. Karenanya, ia yang belajar mencipta novel secara otodidak itu banyak membaca novel-novel karya Nawal El Sadawi dan Sheikh Nizami. Hingga tidak heran kalau proses kreatifnya di dalam penciptaan novel sangat terpengaruh dengan karya-karya gubahan kedua pengarang itu. Menurut pengakuannya, proses kreatifnya sangat dipengaruhi oleh pemikiran dan konsepsi teologi feminis dalam Islam yang dikemukakan oleh Fatima Mernissi (Maroko) dan Riffat Hasan (Pakistan).