MANAKALA bertandang ke rumah seorang kawan, perhatian saya terserap habis pada coretan-coretan liar dan naf di dinding ruang tamu yang membentuk gambar binatang, mobil, kapal terbang, atau orang. Tanpa bertanya pada kawan tersebut, perkiraan saya tidak bakal meleset. Gambar-gambar itu pasti karya anak-anaknya. Manusia-manusia kecil yang mulai membutuhkan penghargaan atas karya-karyanya serta pengakuan eksistensinya dari lingkup internal (orang tua dan keluarga) atau lingkup eksternal (orang luar).
Tanpa pertimbangan teknis yang menyoal nilai-nilai estetika di dalam dunia seni rupa, saya menangkap kepolosan pribadi, kebebasan bersikap, dan kesederhanaan berpikir anak-anak di balik visual karya tersebut. Masalah ini yang sering membuat jengkel kawan saya. Maklum, ia selalu menghendaki rumahnya yang rapi, tertata dan bersih. Sementara bagi pecinta anak-anak, gambar-gambar di dinding ruang tamu itu justru tampak rekreatif, segar, komedial, dan naif untuk disaksikan.
Perihal gambar yang divisualkan di dinding ruang tamu itu tidak dapat diklaim sebagai refleksi kekurangajaran seorang bocah. Hal itu hendaklah lebih dimaknai bahwa anak-anak kawan saya mulai membutuhkan keleluasaan suatu media (baca: bukan sekadar buku gambar) untuk mengekspresikan gagasannya yang berpijak naluri kreatifnya. Bukan berdasarkan teknik atau teori dibakukan dalam dunia kreativitas seni rupa.
Ulah anak-anak kawan saya itu tentu saja tidak dapat diidentikkan dengan ulah sebagian remaja yang suka mencoretmoreti tembok-tembok bangunan, tiang listrik, dinding-dinding gua dll. Mengingat graffiti yang dibuat sebagian remaja tersebut cenderung bertendensi untuk menunjukkan keakuan kelompok (gang)-nya. Tidak musykil kalau graffiti tersebut berpotensi memicu konflik yang mengarah pertikaian antar gang. Persoalan inilah kiranya merupakan salah satu pemicu realisasi Projek Mural Kota Sama-sama Apotik Komik pada beberapa tahun silam. Suatu projek yang salah satunya bertujuan untuk menyalurkan kreativitas remaja pada jalur sebenarnya. Hingga hasil yang diharapkan mampu memberikan kesejukan, kenyamanan, dan keasrian lingkungan kota dan desa.
Lain Apotik Komik yang melakukan aktivitasnya dengan pijakan krisis kreativitas remaja, lain pula sebagian perupa di dalam penciptaan karya-karyanya senantiasa mengacu kreativitas anak-anak. Nama-nama semisal: Heridono, Eddie Hara, dan Ugo Untoro dapat dijadikan contoh pelukis yang banyak terinspirasi gambar anak-anak. Alhasil, para kritikus sering menglasifikasikan karya-karya mereka bergaya naf. Boleh dibilang anti teknik atau teori yang dibakukan di dalam penciptaan karya seni lukis.
Bahkan sewaktu mencermati karya-karya lukis Affandi, saya menyaksikan sebagian karya-karya tersebut bergaya naf, terutama pada lukisan potret diri. Lukisan yang terbentuk lewat komposisi garis-garis liar dan dominasi warna merah, hitam, dan kuning tersebut tidak hanya mencitrakan kenaifan, melainkan totalitas ekspresi jiwa merdeka seorang kreator.
Affandi
MEMANG gambar anak-anak yang divisualkan di dinding ruang tamu kawan saya itu tidak sebanding dengan karya-karya naf Affandi. Namun kalau menilik karya-karya naf sang maestro, sontak saya teringat pada karya anak-anak. Karya-karya ekspresif yang merefleksikan ungkapan polos dari dalam hati (perasaan) dan dari dalam tempurung kepalanya (intuisi dan imajinasi).
Sebagaimana anak-anak, Affandi mencoba menemukan jati dirinya melalui karya-karyanya. Hingga bagi Affandi, karya-karyanya yang berupa potret diri dapat dijadikan media refleksi tentang jatidirinya. Sementara bagi apresian, visualisasi wajah Affandi tua berjenggot, berkepala botak, rambut keriting tidak terisir, dan garis-garis tegas di seputar mata dapat dijadikan wahana untuk mengenal kepribadiannya. Setampang wajah sang maestro yang mencitrakan keugaharian, ketegasan, keperkasaan jiwa dalam meniti jalan kehidupan. Sungguhpun tidak dipungkiri, garis-garis tegas di seputar mata pada sebagian karya potret diri tersebut menyiratkan jiwanya yang melankolis.
Jiwa-Jawi Affandi dapat diteladani setiap orang yang bermimpi hidup damai di tengah kemelut modernisasi. Mengingat modernisasi yang gagal dimaknai sebagai jalan menuju kota kesejahteraan manusia justru menjadi mesin pembunuh jiwa. Banyak orang kelas bawah terhempas sebagai tumbal-tumbal tidak berdaya. Senasib sampah terombang-ambingkan arus bah menuju muara keterpurukan.