Mohon tunggu...
Sri Wintala Achmad
Sri Wintala Achmad Mohon Tunggu... Penulis - Biografi Sri Wintala Achmad

SRI WINTALA ACHMAD menulis puisi, cerpen, novel, filsafat dan budaya Jawa, serta sejarah. Karya-karya sastranya dimuat di media masa lokal, nasional, Malaysia, dan Australia; serta diterbitkan dalam berbagai antologi di tingkat daerah dan nasional. Nama kesastrawannya dicatat dalam "Buku Pintar Sastra Indonesia", susunan Pamusuk Eneste (Penerbit Kompas, 2001) dan "Apa dan Siapa Penyair Indonesia" (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2017). Profil kesastrawanannya dicatat dalam buku: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017); Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018). Sebagai koordinator divisi sastra, Dewan Kesenian Cilacap periode 2017-2019.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sumingkar, Cikal Bakal Ibu Kota Gunungkidul

23 Februari 2018   06:37 Diperbarui: 23 Februari 2018   07:57 1258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

INILAH kisah tentang Sumingkar, suatu wilayah yang sekarang dikenal dengan Sambi Pitu, Gunungkidul. Terdapat suatu pendapat bahwa Sumingkar merupakan ibukota Gunungkidul ketika Sri Sultan Hamengkubuwana I menjabat sebagai raja di Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.

Muncul dugaan bahwa Sumingkar identik dengan Sumingkir (mengungsi). Sebab itu, Sumingkar dianggap oleh masyarakat Sambi Pitu sebagai daerah pelarian  orang-orang Majapahit. Manakala Majapahit yang berpusat pemerintahan di Dhaha (Kadiri) itu mendapat serangan dari Sultan Trenggana (raja Kesultanan Demak ke-3) pada tahun 1527. Serangan dari Sultan Trenggana tersebut, karena Prabu Brawijaya (Pa-bu-ta-la atau Girindrawardhana Dyah Ranawijaya) yang mendapatkan dukungan Portugis itu akan melakukan pemberontakan terhadap Kesultanan Demak. 

Gua Baribin

CERITA lisan yang berkembang di masyarakat bahwa sebagian pelarian Majapahit yang dipimpin Prabu Brawijaya mengungsi di Gua Bribin (Semanu). Di gua itulah, Prabu Brawijaya mati moksa. Namun sebagian masyarakat menganggap  bahwa Prabu Brawijaya meninggal dengan membakar diri. Kematian Prabu Brawijaya ini, mereka anggap sebagai salah satu pengaruh kasus bunuh diri di Gunungkidul sesudah menyaksikan pulung gantung. Suatu benda angkasa menyerupai bola api yang sering disamakan dengan teluh braja.

Sejatinya pelarian Majapahit tidak hanya mengungsi di Gua Bribin; melainkan pula di Rongkop, Semanu, Karangmojo, Ngawen, Nglipar, Sambi Pitu, Patuk, dan Panggang. Pendapat ini berdasarkan adanya aneka kebudayaan yang menunjukkan spirit asli Jawa-Hindu-Buddha, seperti: tayub (ledek), rasulan, cing nggoling, babad hutan, reyog, serta, peninggalan Hindu dan Buddha.

Hutan Nangkadoyong

KEMBALI pada bahasan utama yakni  wilayah Sumingkar. Semula, Sumingkar pada paska Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755) merupakan pusat pemerintahan Adipati Wiranagara, penguasa Kadipaten Gunungkidul. Oleh Sri Sultan Hamengkubuwana I, Adipati Wiranagara diperintahkan untuk memindahkan Ibukota Gunungkidul dari Sumingkar (Sambi Pitu) ke Hutan Nangkadoyong.  Pemindahan tersebut dikarenakan tata letak kiblat empat ibukota kurang tepat menurut perhitungan Jawa.

Sebagai bawahan Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Adipati Wiranagara menyanggupi permintaan Sri Sultan Hamengkubuwana I. Karenanya, Adipati Wiranegara segera memerintahkan Demang Wanapawira untuk membuka Hutan Nangkadoyong. Dengan mendapatkan bantuan orang-orang Piyaman dan Paliyan, Demang Wanapawira membuka hutan hingga berhasil dibangun sebagai ibukota. Sesudah ibukota Gunungkidul dibangun, Adipati Wiranagara membangun pasar di wilayah Seneng.

Ketika Nangkadoyong telah dibangun sebagai ibukota, Sri Sultan Hamengkubuwana I datang ke Gunungkidul untuk meremikannya. Seusai upacara peresmian yang dimeriahkan dengan lomba memanah, Sri Sultan Hamengkubuwana I menamakan ibukota terbaru itu dengan Wanasari. Secara substansial, Wanasari dimaknai sebagai hutan yang berubah indah sesudah dibuka dan dibangun sebagai ibukota.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun