INILAH kisah tentang Sumingkar, suatu wilayah yang sekarang dikenal dengan Sambi Pitu, Gunungkidul. Terdapat suatu pendapat bahwa Sumingkar merupakan ibukota Gunungkidul ketika Sri Sultan Hamengkubuwana I menjabat sebagai raja di Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Muncul dugaan bahwa Sumingkar identik dengan Sumingkir (mengungsi). Sebab itu, Sumingkar dianggap oleh masyarakat Sambi Pitu sebagai daerah pelarian  orang-orang Majapahit. Manakala Majapahit yang berpusat pemerintahan di Dhaha (Kadiri) itu mendapat serangan dari Sultan Trenggana (raja Kesultanan Demak ke-3) pada tahun 1527. Serangan dari Sultan Trenggana tersebut, karena Prabu Brawijaya (Pa-bu-ta-la atau Girindrawardhana Dyah Ranawijaya) yang mendapatkan dukungan Portugis itu akan melakukan pemberontakan terhadap Kesultanan Demak.Â
Gua Baribin
CERITA lisan yang berkembang di masyarakat bahwa sebagian pelarian Majapahit yang dipimpin Prabu Brawijaya mengungsi di Gua Bribin (Semanu). Di gua itulah, Prabu Brawijaya mati moksa. Namun sebagian masyarakat menganggap  bahwa Prabu Brawijaya meninggal dengan membakar diri. Kematian Prabu Brawijaya ini, mereka anggap sebagai salah satu pengaruh kasus bunuh diri di Gunungkidul sesudah menyaksikan pulung gantung. Suatu benda angkasa menyerupai bola api yang sering disamakan dengan teluh braja.
Sejatinya pelarian Majapahit tidak hanya mengungsi di Gua Bribin; melainkan pula di Rongkop, Semanu, Karangmojo, Ngawen, Nglipar, Sambi Pitu, Patuk, dan Panggang. Pendapat ini berdasarkan adanya aneka kebudayaan yang menunjukkan spirit asli Jawa-Hindu-Buddha, seperti: tayub (ledek), rasulan, cing nggoling, babad hutan, reyog, serta, peninggalan Hindu dan Buddha.
Hutan Nangkadoyong
KEMBALI pada bahasan utama yakni  wilayah Sumingkar. Semula, Sumingkar pada paska Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755) merupakan pusat pemerintahan Adipati Wiranagara, penguasa Kadipaten Gunungkidul. Oleh Sri Sultan Hamengkubuwana I, Adipati Wiranagara diperintahkan untuk memindahkan Ibukota Gunungkidul dari Sumingkar (Sambi Pitu) ke Hutan Nangkadoyong.  Pemindahan tersebut dikarenakan tata letak kiblat empat ibukota kurang tepat menurut perhitungan Jawa.
Sebagai bawahan Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Adipati Wiranagara menyanggupi permintaan Sri Sultan Hamengkubuwana I. Karenanya, Adipati Wiranegara segera memerintahkan Demang Wanapawira untuk membuka Hutan Nangkadoyong. Dengan mendapatkan bantuan orang-orang Piyaman dan Paliyan, Demang Wanapawira membuka hutan hingga berhasil dibangun sebagai ibukota. Sesudah ibukota Gunungkidul dibangun, Adipati Wiranagara membangun pasar di wilayah Seneng.
Ketika Nangkadoyong telah dibangun sebagai ibukota, Sri Sultan Hamengkubuwana I datang ke Gunungkidul untuk meremikannya. Seusai upacara peresmian yang dimeriahkan dengan lomba memanah, Sri Sultan Hamengkubuwana I menamakan ibukota terbaru itu dengan Wanasari. Secara substansial, Wanasari dimaknai sebagai hutan yang berubah indah sesudah dibuka dan dibangun sebagai ibukota. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H